Cerpen Betapa Hebatnya Dia karya Intan Nurhaliza ini terpilih sebagai pemenang pertama Lomba Menulis Cerita Anak tahun 2013 (LMCA 2013) oleh Kemendikbud. Seperti dua tahun sebelumnya, kali ini pemenang utama pun mengisahkan tentang anak berkebutuhan khusus dalam keluarganya. Namun tidak ada keterangan di biodata penulis yang menyebutkan kisah ini diangkat dari pengalaman penulis sendiri.
Terlepas dari kesamaan tema dan pola cerita dengan pemenang utama 2 tahun sebelumnya, cerpen ini memang berkualitas. Tak percaya? Silakan baca dan bandingkan sendiri.
Betapa Hebatnya Dia
Oleh: Intan Nurhaliza
Sungguh aku tidak membenci Jihan, adikku satu-satunya. Dari hatiku yang terdalam, sesungguhnya aku sangat mengasihinya. Namun, entah mengapa hingga saat ini aku belum bisa menerima Jihan yang terlahir sebagai adik kandungku.
Jihan terlahir sedikit berbeda dengan anak-anak normal lainnya. Dengan kata lain, ia mempunyai ‘dunianya sendiri’. Nada bicaranya sedikit lambat. Cara kerja otaknya dalam berpikir pun berbeda dengan teman-teman seusianya. Dilihat dari fisiknya, posisi kepala Jihan sedikit miring ke kanan, tidak tegak. Terkadang air liur sesekali jatuh dari mulutnya. Hal inilah yang membuatku belum bisa menerima kehadirannya sejak ia lahir dari rahim Mama.
“Jihan anak yang hebat. Mama bangga padanya,” begitu kata Mama, ketika aku membandingkan Jihan dengan adik Nisa, Riri. Jujur, sampai saat ini aku masih suka membanding-bandingkan Jihan dengan anak normal lainnya, termasuk Riri. Bagaimana tidak, Riri, teman akrab Jihan itu, jauh lebih aktif daripada Jihan. Riri juga mempunyai kegemaran yang sama denganku. Ia senang melukis. Lukisannya bagus untuk anak seusianya.
“Bangga? Apa yang bisa Mama banggakan dari Jihan, Ma? Dia itu berbeda dengan Riri. Dia berbeda dengan anak-anak normal lainnya. Dia itu enggak…” Mama memotong pembicaraanku. Ditadahkannya jari telunjuknya di bibirku. “Ssst…. Jangan keras-keras bicaranya, tidak enak kalau Jihan mendengarnya.”
Sampai saat ini, aku belum bisa melupakan kata-kataku itu. Setelah kupikir-pikir, aku bukanlah kakak yang baik untuk Jihan. Bagaimana tidak, ucapan dari mulutku itu telah menyakiti hati Jihan. Baru kutahu akhir-akhir ini, ternyata Jihan mendengar pembicaraan kami saat itu. Setelah kejadian itu, Jihan lebih sering mengharapkan perhatianku. Menurutku, Jihan ingin menunjukkan kepadaku betapa hebatnya dia. Namun, tetap saja, ia adalah anak yang berbeda.
Tak jarang aku mencacinya di belakang Mama. Hampir setiap hari aku selalu marah pada Jihan. Betapa menjengkelkannya dia. Pernah aku mengurungnya di kamar ketika Mama pergi. Hari itu, perilaku Jihan sangat menyebalkan. Ia mengganggu minggu pagiku yang cerah dengan semua kelakuannya yang aneh. Jihan menawarkanku segelas sirup buatannya. Aku mengangguk saja. Lagipula, aku tengah asyik dengan acara film hari ini. Kubiarkan Jihan membuat sirup sendiri di dapur. Tak lama, Jihan datang dengan dua gelas sirup yang ia janjikan. Namun, bukan segelas sirup segar yang kudapat, melainkan pecahan gelas kaca. Ya, Jihan membawa nampan gelas sirup itu tidak hati-hati. Alhasil, aku harus membersihkan pecahan gelas itu dan mengepel rumah hingga bersih. Menyebalkan.
Suatu hari, aku baru saja pulang dari sekolah. Dengan tubuhku yang lemas, aku mengetuk pintu rumah. Seperti biasa, Jihan membukakan pintu, dan menyambutku dengan teramat manis. “Eh, kakak.. sudah pulang..” bicaranya lambat sekali. Aku membalasnya dengan senyum simpulku. Kemudian, berlalu dari hadapan Jihan.
“Kakak, tunggu…” Lagi-lagi Jihan memanggilku. Aku menarik napas sejenak. Aku berbalik. Menatap Jihan yang tersenyum manis. “Ada apa lagi?”
Jihan tidak menjawab, tetapi tersenyum-senyum kepadaku. Sembari memainkan jari-jarinya, ia memandangku dengan malu-malu. “Kak, Jihan mau diajarin melukis, dong.”
Uh! Hari ini saja aku sudah sangat sibuk di sekolah. Tugas sekolahku minggu lalu menumpuk. Aku belum sempat mengerjakannya, karena minggu lalu aku harus menemani Jihan bermain di rumah Nenek. Ini permintaan Mama, kalau saja bukan Mama yang menyuruhku menemani Jihan di rumah Nenek, aku tidak akan mau menemaninya. Lagipula, aku harus berlatih piano, karena dua minggu lagi sekolah akan mengadakan pentas tahunan. Belum lagi, les melukis yang menambah padat jadwalku.
“Tidak bisa, Jihan. Kakak harus menyelasaikan tugas sekolah. Dan, minggu depan, Kakak sudah mulai ujian. Kakak harus belajar dari sekarang,” aku berusaha sabar menanggapi adikku ini. Kulihat raut wajah Jihan yang murung. Dia menunduk mendengar jawabanku. Tak sampai hati aku melihatnya, namun bagaimana lagi, aku benar-benar harus mengerjakan tugasku. “Minta diajarin Mama saja ya,” Aku mengelus rambut Jihan. Ia tidak menjawab apa-apa dan meninggalkanku begitu saja.
Jadwalku yang padat, memang membuat waktuku dengan Jihan berkurang. Kata Mama, Jihan kesepian. Ia senang jika aku menemaninya walau hanya sebentar. Namun, tetap saja aku memiliki aktivitas sendiri. Aku memang sering mengabaikannya. Aku bukanlah kakak yang baik untuk Jihan. “Setelah Kakak ujian, Kakak akan menyediakan waktu untukmu, Jihan,” aku bergumam sambil mengambil buku tugasku di meja belajar.
Aku masih larut dalam tumpukan buku pelajaranku. Samar-samar kulihat Jihan datang menghampiriku. Tampaknya ia membawa hasil lukisannya. “Kakak, lihat nih, Jihan juga bisa melukis, lho,” Jihan bersemangat sekali. Ia berlari-lari menghampiriku. Dan, yang terjadi setelah itu…. Brak! Lukisan Jihan jatuh tepat di buku yang sedang kupelajari. Lukisan itu benar-benar baru diselesaikannya. Ah, benar-benar menjengkelkan!
“Jihan! Sudah Kakak bilang, jangan ganggu Kakak! Lihat! Apa yang kamu lakukan? Kamu tidak mengerti? Kakak bilang, Kakak mau belajar, jangan diganggu!” Aku marah, karena tulisan di bukuku hampir tidak terbaca. Tumpahan cat warna memenuhi buku itu. “Dasar anak enggak… ah….”
Sejak saat itu, Jihan tidak pernah menggangguku lagi. Ia banyak menghabiskan waktunya di kamar. Entah apa yang dia lakukan di kamar. “Cinta, coba kamu ajak adikmu keluar dari kamar. Sejak kamu berangkat sekolah, ia mengabiskan waktunya di kamar. Mama ajak keluar enggak mau, coba kamu rayu,” Mama menasihati sambil duduk di ranjangku. Aku menanggapinya acuh tak acuh. Ah, Jihan, Jihan dan Jihan…,batinku kesal. Terkadang aku merasa Mama terlalu banyak menaruh perhatian pada Jihan, sehingga waktuku bersama Mama terbuang untuk Jihan.
“Sudahlah, Ma. Paling Jihan sedang tertidur, atau dia asyik dengan hal-hal konyolnya. Dia kan anak yang berbeda, enggak…,” Mama menatapku tajam, memotong pembicaraanku. Sepertinya ada yang salah dari perkataanku tadi. “Berhenti, Cinta! Berhenti mengolok-olok adikmu. Berhenti mengungkit-ungkit kekurangannya. Jihan selalu berniat menolongmu, tapi dengan keterbatasannya, kamu harus mengerti. Ingatlah, berapa kali kamu menyakiti hati lembutnya,” Mama meninggalkan aku sendiri di kamar. Ah, tetap saja perkataan Mama tidak membuat rasa jengkelku pada Jihan, terhapuskan.
Tok.. Tok.. Tok.. Seseorang mengetuk pintu kamarku. Kudengar langkah kakinya menapaki lantai. Segera kubuka pintu kamarku. Tidak enak jika aku tidak membukanya, apalagi kalau yang mengetuk itu Papa atau pun Mama. Ceklek! Bukan sosok manusia yang kutemui, melainkan sebuah surat di depan pintu kamar. Aku meraih surat itu. Kubuka dengan perlahan.
Untuk Kak Cinta tersayang
Kak, Maafkan Jihan ya. Jihan salah karena sudah merusak buku kakak. Jihan tau, kakak marah. Di mata kakak, Jihan selalu salah. Tapi, memang Jihan anak yang membawa sial. Anak yang enggak normal, seperti kata kakak. Kak, sekali lagi maafinJihan ya. Sebagai permintaan maaf, Jihan mau kakak datang ke taman. Jihan mautunjukin sesuatu. Jihan tunggu kakak sampai datang ke taman.
Salam manis,
Adik Kak Cinta yang menyebalkan
Entah mengapa hatiku tidak luluh membacanya. Sepucuk surat itu tidak sukses membuatku ingin menemuinya. “Ah, malas sekali aku datang ke taman. Lagipula, kenapa harus di taman sih? Aku sangat mengantuk dan terlalu lelah untuk menemui Jihan,”
Sudah kuduga. Aku tertidur pulas sekali. Dan, sepucuk surat dari Jihan masih di genggamanku. Samar-samar kudengar Mama mengetuk pintu kamarku sembari memanggil namaku. “Masuk saja, Ma. Tidak dikunci kok,” aku menanggapinya.
“Cinta, tolong cari adikmu. Heran, ke taman saja sampai petang. Terlebih di luar hujan deras sekali,” ucap Mama sembari masuk ke kamarku. Dug! Aku jadi teringat surat yang diberikan Jihan. Dia menungguku di taman. Segera kuambil payung milikku, lalu berlari menuju taman dengan tergesa-gesa.
“Jihan! Jihan! Ini Kakak, Jihan,” Aku berteriak memanggil nama Jihan. Mencarinya di sekitar taman perumahan yang luas. “Jihan, kamu dimana?” suaraku semakin menggema mencari Jihan. Tetes air hujan ikut mengiringi perjalananku mencari Jihan, adikku yang manis.
Dari kejauhan kulihat sosok anak yang terbaring di tengah taman. Perasaanku mulai bercampur aduk. Aku merasa sangat bersalah kepada adikku sendiri. Betapa teganya aku mengabaikannya. Mengabaikan semua kebaikannya kepadaku. Oh, Jihan….
“Jihan?” Mataku menatap seorang anak yang terbaring lemah dengan gulungan kertas di genggamannya. Aku tersentak. Sosok itu benar-benar Jihan adikku. Bibirnya pucat sekali. Dia tergeletak lemas di taman dengan hujan yang membasahi tubuh mungilnya. “Jihan, bangun…, ini Kakak…, maafkan Kakak Jihan, maafkan Kakak…,” aku menggerak-gerakkan tubuh Jihan.
Aku belum bisa membayangkan betapa kejamnya aku terhadap adikku sendiri. Aku membuat adikku harus terbaring lemas di rumah sakit dengan jarum infus di tangannya.
Sekali lagi kulirik Jihan yang belum juga terjaga setelah kejadian kemarin. Aku sangat menyesalinya. Andai saja, aku menuruti permintaanya untuk datang ke taman. Semua tidak akan berakhir seperti ini. Baru kutahu, Jihan memintaku datang ke taman karena ia ingin menunjukkan hasil lukisannya. Dia melukis dua orang anak perempuan yang bergandengan tangan. Anak perempuan yang pertama lebih tinggi dari yang kedua. Di bawah lukisan anak perempuan yang pertama terdapat tulisan ‘Kak Cinta yang cantik’. Dan, gambar anak perempuan yang kedua bertuliskan ‘Jihan yang menyebalkan’. Lukisannya dipulas dengan warna yang indah. Terdapat tulisan ‘Jihan sayang kak Cinta’ di atas lukisan itu. Hampir menangis aku melihat lukisan Jihan. Terlebih saat aku mengetahui, Jihan harus menahan laparnya demi menyelesaikan lukisannya di kamar. Jihan juga merangkai bunga-bunga membentuk tulisan ‘Maafkan Jihan kak Cinta’. Sayangnya, aku menyia-nyiakan usaha adikku itu. Aku telah membuatnya kecewa. Aku bukanlah kakak yang baik untuk Jihan. Rangkaian tulisan dari bunga-bunga itu sedikit hancur terkena hujan kemarin sore. Namun, aku tetap mengabadikannya di kamera handphone-ku. Dan, ketika Jihan tersadar nanti akan kutunjukkan ‘Betapa Hebatnya Dia’. Mama benar, Jihan anak yang hebat. “Jihan, cepatlah tersadar…. Nanti Kak Cinta ajarin Jihan melukis… Kak Cinta sayang Jihan.” [*]
sumber: koko-nata.net