Gara-gara Jam Weker yang dirusakkanya, Nami masuk ke sebuah negeri yang sangat disiplin terhadap waktu. Namanya Negeri Seribu Jam. Di negeri itu semua orang tepat waktu sehingga semua kegiatan berjalan terartur.
Tapi bosan juga, kan kalau semuanya serba tepat waktu!
Kebosanan yang dirasakan Nami membuat ia pergi ke negeri terserah. Disana semua orang berbuat semau gue, sehingga segala hal menjadi berantakan!
Inilah cerpen karya Jasmine Dejand Fathmarena yang meraih juara 3 pada Lomba Menulis Cerita Anak 2013 atau LMCA 2013 oleh Kemendiknas. Ia masih berusia 11 tahun dan duduk di kelas VI saat menulis cerpen ini. Kisahnya mengingatkan kita akan pentingnya mengatur dan tepat waktu. Baik dan buruknya pemanfaatan waktu tergambar dalam cerpen ini. Silakan membaca.
CERPEN JUARA 3 LMCA 2013, GARA-GARA JAM WEKER |
Gara-Gara Jam Weker
Oleh: Jasmine Dejand Fathmarena
Kring… kring…. Jam weker di meja Nami mulai berdering. Ia menggeliat dan berusaha mematikan benda yang mengganggu mimpi indahnya tersebut.
“Ah, masih jam setengah tujuh pagi, lagi pula kan ini hari Minggu. Jam ini benar benar menyebalkan!” kataku sambil berkacak pinggang di depan jam weker tersebut. Tiba- tiba, jam itu tak sengaja tersenggol oleh tanganku, dan… prang…, jam terjatuh tepat di depan meja.
“Nami!!! Suara apa itu?” tanya Papa dari luar kamar.
“Aduh.. bagaimana ini. Jam ini kan, hadiah dari Papa. Kalau Papa tahu pasti marah besar,” kataku setengah berbisik. Untunglah Papa tidak menghampiri. Tak lama kemudian, terdengar deru mobil dari garasi.
“Itu berarti, sebentar lagi Papa akan pergi. Aku kabur, ah!” gumamku dalam hati. Setelah deru mobil terdengar menjauh, aku mengendap-endap keluar dan berlari menuju halaman belakang rumah.
“Akhirnya aman juga,” batinku sambil melihat sekeliling.
Pandanganku terhenti pada sebuah batu yang berdiri tegak tepat dua meter di sampingku. Batu itu terlihat besar sekali. Rasanya aneh, meski sudah lama tinggal di rumah ini, batu itu baru terlihat sekali, yaitu hari ini. Karena tidak yakin dengan apa yang sedang kulihat, aku mencoba untuk mencubit pipi. Jangan-jangan ini hanya mimpi. Tapi pipiku terasa sakit.
“Aww… sakit, ternyata aku tidak bermimpi. Akan tetapi sejak kapan ya, batu itu berada di sana?” tanyaku pada diri sendiri. Entah kenapa, tiba-tiba sepertinya aku mendengar jawaban dari pertanyaan yang tak sengaja kuucapkan.
“Batu itu sudah berada di tempat itu sebelum kamu pindah ke
rumah ini , Teman,” jawab sosok tersebut.
“Hei, kamu siapa? Di mana keberadaanmu?” ujarku memberanikan diri.
“Aku teman barumu! Menghadaplah ke arah batu besar, dan kau akan melihatku sedang berdiri di sana,” kata sosok tersebut. Setelah mendengar itu, aku menghadap ke tempat yang dimaksud. Tapi sosok yang kucari tidak terlihat. Saking penasarannya, aku mendekati dan menyentuh permukaan batu tersebut. Ajaib. Beriringan dengan keluarnya cahaya menyilaukan dari batu tersebut, terdengar suara.
“Selamat datang di Negeri Seribu Jam!” tampak perempuan kecil yang berdiri tegak menyambutku. Mungkin, dialah sosok yang menjawab pertanyaanku tadi. Saat itu, terlihat pemandangan yang tidak akan pernah tampak di duniaku sendiri. Jam-jam tiang kecil tergantung di sepanjang jalan. Bangunan-bangunan unik dan penduduk dengan arloji di tangan kanan-kirinya. Selain itu, berbeda dengan negeriku yang memanfaatkan lampu berwarna-warni sebagai penghias kota, negeri ini menggunakan ribuan jam besar maupun kecil, yang dipercantik oleh lilin berwarna sebagai penghiasnya.
“Hei, Kenapa engkau melamun dari tadi?” ujar perempuan tersebut membuyarkan lamunanku.
“Eh… oh…, iya. Aku hanya terlalu kagum pada kecantikan negeri ini,” kataku, masih tergagap dan heran. Tempat apakah ini sebenarnya? Belum sempat aku bertanya lebih lanjut, sosok itu kembali berkata. Perkataan yang membuatku langsung percaya.
“Terimakasih kau telah memuji negeriku. Perkenalkan, aku Mimi dari Negeri Seribu Jam,” ujar Mimi sambil tersenyum ramah.
“Kalau aku, Nami. Atau lebih tepatnya Hanami Iyura. Senang berjumpa denganmu, Mimi!” jawabku tanpa banyak lagi bertanya.
Kami berjalan menyusuri kota dengan riang. Bagiku berjalan-jalan di negeri ini, bagai sedang bermimpi. Setelah berjalan cukup jauh, Mimi berhenti di sebuah rumah sederhana. Ternyata rumah tersebut adalah rumah milik keluarganya.
“Ibu!! Aku kedatangan teman baru, Bu!” teriak Mimi pada ibunya.
“Hei, Mimi. Kau tidak boleh berteriak pada ibumu. Bukankah dia orang yang melahirkanmu?” kataku setengah berbisik.
“Biar saja, Nak. Mimi memang sudah biasa berteriak,” jawab Ibu Mimi tiba-tiba, sambil membukakan pintu untuk kami.
“Apa? Jadi ibu Mimi mendengar kalimat yang aku bisikkan pada Mimi?” gumamku dalam hati. Kemudian, Ibu Mimi mempersilahkan kami untuk masuk, dan duduk di kursi ruang tamu.
Saat Ibu Mimi sedang pergi menuju dapur, aku mendengar suara yang sepertinya berasal dari mulut seorang anak laki-laki. Aku pun bertanya.
“Mimi, suara anak kecil dari arah dapur, itu siapa?” tanyaku penasaran.
“Oh, itu adalah suara adik lelakiku, namanya Raro,” jawab Mimi.
Setelah ikut makan siang bersama keluarga Mimi, ibunya menyuruhku untuk berkeliling rumah bersama Mimi dan Raro. Saat berkeliling rumah, Raro terus mengeluarkan lelucon lucu yang membuat kami tertawa. Raro adalah adik yang menyenangkan. Tidak seperti adikku di rumah yang cuek dan malas.
Rasa lelah mulai menyergap. Mimi menyuruhku untuk beristirahat di kamar. Akan tetapi, sebelum masuk kamar, Mimi memberitahukan bahwa mulai besok, aku akan bersekolah di sekolah yang sama dengannya. Saking senangnya, aku pun terlelap.
Hari ini telah tiba. Setelah mandi, Mimi memberiku sepasang seragam untuk dikenakan saat sekolah. Sesudah sarapan, kami segera pamit dan berangkat sekolah dengan berboncengan naik sepeda. Pemandangan Negeri Seribu Jam di pagi hari sangat sibuk. Menurut cerita Mimi, anak- anak dan orang dewasa tidak pernah terlambat masuk sekolah ataupun masuk kerja. Itu karena mereka selalu hidup disiplin. Beribu jam di sekitar, membuat mereka tidak pernah membuang waktu. Sedangkan di negeriku sendiri, orang orang selalu dengan sengaja mengulur waktu untuk melakukan hal yang belum tentu berguna.
Karena melamun, aku tidak sadar bahwa kami sudah berada di depan gerbang sekolah. Aku dan Mimi pun turun dari sepeda dan segera berlari menuju kelas. Ibu guru sudah berada di depan kelas, dan segera menyuruhku untuk memperkenalkan diri pada teman teman.
“Perkenalkan semua, namaku Hanami Iyura, dan kalian bisa memanggilku Nami. Aku murid pindahan dari Negeri Jally. Senang berteman dengan kalian,” kataku sambil tersenyum. Setelah selesai aku duduk di bangku kosong. Pelajaran telah dimulai, aku mendengarkan penjelasan guru di depan kelas dengan seksama.
Teng… teng…. Bel pulang sekolah telah berbunyi nyaring. Semua anak berhamburan keluar kelas, termasuk aku dan Mimi. Sambil berjalan, kami menceritakan hal hal yang kami alami di sekolah hari ini.
Dorr…. Wah, ada yang mengagetkan kami. Saat aku melihat ke belakang, ternyata dia adalah Sulli, teman sebangkuku saat di kelas tadi.
“Mimi, Nami! Apa kalian mau ikut bersepeda nanti sore bersama teman–teman sekelas kita?” ujar Sulli tiba-tiba.
“Boleh saja, pukul berapa?” Tanya Mimi balik.
“Mungkin, sekitar pukul 4 sore. Kata teman- teman, ini untuk merayakan kedatangan anak baru di kelas kita, tepatnya Nami,” jawab Sulli tersenyum padaku.
“Aku mau!. Mimi kita ikut, yuk!” ujarku menambahi. Karena setuju,
sore harinya kami semua bersepeda sambil bersenang- senang. Setelah
berpamitan, kami pun pulang ke rumah.
Tak terasa, sudah setengah bulan aku hidup di Negeri Seribu Jam. Dan selama itu pula aku belajar untuk tidak hidup malas. Akan tetapi, aku bosan dengan kebiasaan penduduk sini yang terlalu disiplin. Karena itu, aku pun berusaha untuk jujur pada Mimi.
“Mimi, aku ingin berbicara denganmu,” kataku sambil tertunduk.
“Apa yang ingin kau bicarakan, silahkan katakan padaku, sekarang,” jawab Mimi sambil masih tersenyum. Sepertinya, dia tidak mengerti isi hatiku.
“Aku sudah bosan dan tidak ingin hidup dengan kebiasaan disiplin tinggi di negeri ini. Aku ingin hidup di negeri yang lebih sesuai dengan kehidupanku. Maafkan aku, Mimi,” kataku panjang lebar tanpa menatap
matanya.
“Baiklah, jika itu maumu. Aku tahu jika kehidupan di sini sangat berbeda dengan kehidupanmu sebelumnya. Aku akan mengantarmu ke negeri yang lebih sesuai, segeralah bersiap,” jawab Mimi.
Aku tahu ia kecewa. Akan tetapi, apa boleh buat, aku tidak boleh menyembunyikan kejujuran. Mimi berkata, bahwa ialah yang akan menyampaikan kepergianku kepada teman-teman. Kami pun pergi menuju tempat yang dimaksud Mimi. Di sana, ia berkata padaku.
“Nami, inilah Negeri Terserah, dan kau bisa bebas melakukan apa saja semaumu. Kuharap, kau bisa hidup lebih bahagia di sini. Selamat tinggal, Nami…,” ujarnya lirih. Aku mulai berjalan meninggalkannya, dan saat aku menoleh ke belakang, ia telah berbalik pergi.
Dengan langkah lunglai, aku mulai memasuki pintu gerbang Negeri Terserah.
Negeri ini terlihat kumuh sekali. Saat pertama kali masuk saja, aku sudah melihat banyak sekali sampah yang berserakan di tengah jalan. Mungkin, itu karena penduduknya suka sekali membuang sampah sembarangan. Tidak seperti di Negeri Mimi. Penduduk yang membuang sampah sembarangan akan dikenai hukuman.
Tak sengaja, aku menginjak sebuah kertas brosur yang berisi bahwa ada sebuah sekolah besar yang membebaskan biaya untuk muridnya, atau bisa dibilang gratis. Aku pun berjalan dan berusaha menemukan alamat sekolah gratis tersebut. Karena lelah berjalan jauh, aku beristirahat di bawah pohon rindang. Akan tetapi, aku pun mulai memejamkan mataku.
Mataku terbelalak, bukannya tadi aku masih berada dibawah pohon? Akan tetapi, sekarang aku telah terbaring di ranjang yang berada di sebuah ruangan. Aku baru ingat bahwa saking lelahnya aku sampai tertidur. Berarti ada orang yang sengaja membawaku ke ruangan kecil ini. Aku segera berdiri dan keluar dari ruangan tersebut, dan mataku melihat berbagai benda mewah. Mungkin ini adalah rumah orang kaya.
Seorang wanita yang terlihat berumur 40 tahunan sedang duduk di kursi. Sepertinya, dialah nyonya rumah dari rumah ini.
“Kau sudah bangun? Karena aku telah menolongmu, kerjakanlah pekerjaan di rumah ini sekarang juga! Cuci piring, seterika pakaian, sapu lantai, juga lap kaca jendela sampai bersih. Atau, kau akan kuusir dari rumah ini!” bentak wanita itu padaku.
Karena terlalu takut, aku pun tidak melawannya, dan segera mengerjakan pekerjaan rumah yang ia sebutkan dengan kesal.
Setelah semua selesai, aku mengendap-endap keluar dari rumah itu sekedar untuk menghirup udara segar. Tampak pria-pria bertato mengebut di tengah jalan, padahal sekarang sudah larut malam. Benarbenar tidak tahu waktu. Bukannya udara segar yang aku dapatkan, tapi malah kepulan gas pembuangan kendaraan bermotor, yang membuatku sesak. Tak ada bedanya dengan negeriku sendiri. Aku baru menyadari bahwa di depan rumah tersebut terdapat sebuah sekolah yang cukup besar dan terdapat spanduk bertuliskan, ”SEKOLAH GRATIS”.
“Sekolah gratis! Wah, besok aku harus mendaftar ke sekolah itu,” janjiku dalam hati. Tanpa sadar, aku tersenyum untuk pertama kalinya di hari ini. Aku pun kembali menuju ruangan tempat aku terbaring di ranjang sebelumnya.
Matahari telah terlihat. Aku berusaha mengendap-endap keluar rumah seperti halnya kemarin. Akan tetapi ternyata, sang Nyonya Rumah telah melihatku terlebih dahulu. Alhasil, sepertinya aku harus menunda rencanaku terlebih dahulu, dan siap menerima bentakan yang dilayangkan oleh sang Nyonya Gendut.
Fiuhh.
Akhirnya selesai. Aku segera berlari keluar, dan memasuki gerbang sekolah gratis. Ceceran sampah dan dinding penuh coretan langsung terlihat saat aku menjejakkan kaki di halaman sekolah. Selesai mendaftar, aku pulang ke rumah Nyonya Gendut. Semoga besok tidak terjadi hal yang menyedihkan lagi.
Hari ini aku memakai seragam sekolah gratis dengan bangga. Sampai di depan gerbang sekolah, aku meminta seorang guru untuk menunjukkan kelas mana yang akan aku tempati. Saat aku maju untuk memperkenalkan diri, semua murid mengobrol, dan bermain seenaknya. Kelas ini juga terlihat kotor. Akan tetapi yang paling mengejutkan adalah saat seorang anak perempuan melemparkan sebuah buku besar dan tepat mengenai kepalaku hingga aku terjatuh, dan ia malah menertawakanku.
Saat istirahat tiba, mereka saling bertengkar, dan bermain tanpa memedulikan bel tanda habisnya waktu istirahat yang sudah berbunyi berkali-kali. Melihat itu semua, aku berlari menuju tempat tersembunyi dan menangis sekeras-kerasnya.
“Aku takut dan ingin pulang. Aku berjanji tidak akan membuang waktu,” tangisku pada diri sendiri. Baru 2 hari aku tinggal di Negeri Terserah, tapi rasanya sudah seperti dua tahun. Seketika terlihat cahaya menyilaukan dari batu di sebelahku. Dan….
Aku berada di halaman belakang rumahku. Batu misterius yang berdiri di depanku dan membuat aku sampai di Negeri Seribu jam telah hilang. Secepat kilat, aku berlari menuju dapur , dan memeluk Mama.
“Nami, kenapa baru bangun tidur kamu sudah memeluk Mama?”
tanya Mama heran.
“Apa? Baru bangun tidur, Ma?” tanyaku lebih bingung
“Iya. Kan dari tadi, kamu masih belum bangun, Nami!” jawab Mama.
Aku pun segera melihat jam dan memainkan jari.
”Masih pukul setengah delapan pagi? Jadi 1 jam di sini, sama dengan 17 hari di Negeri Seribu Jam dan Negeri Terserah, Ma!” kataku
spontan dan membuatku Mamaku ikut terkejut.
“Apa maksudmu Nami?” tanya Mama setelah mendengar perkataanku yang aneh.
“Mama tidak perlu tahu tentang ini. Nanti, saat Papa datang, aku akan meminta maaf atas jam weker yang kupecahkan. Selamat tinggal Negeri Seribu Jam, Negeri Terserah!” ujarku dalam hati sambil menampakkan senyum bangga.
sumber: http://www.koko-nata.net/2015/06/cerpen-juara-3-lmca-2013-gara-gara-jam.html