Apa menariknya kisah berjudul Lampu Hias Berbentuk Bulan ini? Memang kisahnya tidak membuat kita meneteskan air mata. Namun satu kata kalimat yang saya renungkan dari cerpen ini adalah “Lebih baik berpisah dan memberi manfaat, ataukah tetap bersatu tapi dipecahkan”
Jika kita renungkan lebih jauh, kata-kata itu sangat bermakna dan disampaikan oleh anak kelas V SD. Mungkin itulah salah satu alasan kenapa cerpen ini terpilih sebagai Juara 2 LMCA 2013 atau Lomba Menulis Cerita Anak tahun 2013 yang dilenggarakan Kemendiknas. Silakan membaca dan renungi makna ceritanya.
Lampu Hias Berbentuk Bulan
Oleh: Najma Alya Jasmine
Kisah ini, berawal dari sebuah toko lampu hias besar yang ada di sebuah kota. Toko itu sangat terkenal dengan beragam bentuk lampu hias yang dijual di sana. Salah satu diantaranya Bulan. Bulan adalah sebuah lampu berbentuk sama seperti namanya, bentuk bulan. Keluarga Bulan sudah tak ada. Mereka sudah dibeli oleh pembeli lampu hias itu. Termasuk orangtuanya.
Dulu saat lampu hias berbentuk bulan datang dengan jumlah yang banyak, dan menempati rak toko, para petugas toko langsung mengelompokkan lampu hias berbentuk bulan itu menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok berjumlah 4 buah. Nah, dari situlah Bulan memiliki orangtua.
Tapi sekarang Bulan merasa kesepian. Seluruh teman, keluarga, tetangga, dan orangtuanya yang berbentuk bulan, sudah dibeli. Mereka semua telah pergi.
Mungkin lain hari mereka akan suka padaku, pikir Bulan dulu, saat saudara dan teman-temannya yang berbentuk bulan, satu persatu dibeli. Tapi hingga sekarang, ia belum juga dibeli. Sampai akhirnya Bulan tinggal satu-satunya lampu hias, dan dianggap usang dengan warna yang makin memudar. Padahal. Meskipun warnanya makin memudar, ia memiliki bentuk yang utuh dan masih pantas untuk dijual.
Kini ia telah disisihkan. Tinggal di rak lampu hias bersama lampu-lampu lain yang bentuknya berbeda. Rak itu memang isinya hanyalah khusus untuk lampu hias yang tersisa, yang sudah dianggap tidak laku. Letaknya jauh di belakang. Di rak itulah, Bulan mengenal teman yang sama-sama bernasib sama. Satu teman bernama Tart si lampu hias berbentuk kue tart, dan teman satunya lagi Hello si lampu hias berbentuk telepon genggam. Sampai saat ini hanya mereka yang menempati rak itu.
“Tart, Bulan, aku kangen dengan orangtuaku. Bagaimana ya keadaan mereka sekarang? Aku harap mereka baik di sana,” terdengar suara Hello, yang berkata pada Bulan dan Tart.
“Betul Hello, aku juga merasakan hal yang sama. Aku kangen pada
orangtuaku. Kadang-kadang sangat sedih kalau mengenang masa-masa
indah saat masih bersama mereka,” balas Bulan sambil memandang ke arah Hello.
“Aku juga kangen pada orangtuaku,” komentar Tart.
“A… Ibu, Ayah, aku takut!” tiba-tiba terdengar suara jeritan dari jauh. Ternyata itu jeritan Vola, sebuah lampu hias berbentuk komputer kecil, yang dibawa oleh seorang pembeli.
“Vola, Vola, Vola, hiks…hiks…hiks…,” tangis Ibu Vola, meratapi kepergian anaknya. Semua lampu hias hanya bisa memandang. Mereka tak bisa berbuat apa-apa. Termasuk juga Hello, Tart, dan Bulan.
“Tart, Hello, kasihan ya Ibu dan Ayah Vola?” kata Bulan.
“Iya,” jawab Tart dan Hello berbarengan.
“Dulu, aku pernah berpikir bahwa teman, saudara, juga orangtuaku tidak suka padaku. Makanya mereka memilih menjauhiku. Ternyata, mereka dibeli oleh para pembeli di toko ini,” kata Bulan lagi.
“Sudahlah, jangan larut dalam kesedihan teman-teman! Bagaimana kalau kita bernyanyi saja?” hibur Tart.
“Ayo. Aku senang kalau kita bernyanyi saja. Oh iya Tart, Hello, aku pernah mendengar ada seorang pembeli yang menyanyikan lagu yang liriknya begini:
Ambilkan bulan Bu, Ambilkan bulan Bu!
Yang slalu bersinar di langit biru.
Di langit, bulan benderang.
Cahyanya sampai ke bintang…
Ambilkan bulan Bu, untuk menerangi…
tidurku yang lelap, di malam gelap….
Nah, bagaimana kalau kita nyanyikan lagu itu saja? Ya, walaupun aku tidak tahu judulnya,” usul Bulan.
“Suaramu bagus, Bulan. Aku juga hafal lagu itu. Baiklah, kita bernyanyi. Aku hitung ya! Satu, dua, tiga…,” sambut Hello.
Lalu mereka bernyanyi dengan riang. Semua lampu memandang ke arah mereka. Nyanyian itu membuat mereka semua bergembira. Mereka semua lupa akan kesedihan masing-masing.
Hari pun terus berganti. Hingga suatu malam, Bulan membangunkan Hello sambil menangis.
“Hello, hiks… hiks… hiks…,” tangis Bulan membangunkan Hello yang tertidur.
“Ada apa Bulan? Kenapa engkau menangis?” tanya Hello.
“Tart, Tart, hiks…hiks…,” tangis Bulan terdengar lirih.
“Ada apa dengan Tart? Kenapa? Apakah ia pergi?” tanya Hello seperti sudah menduga. Berkali-kali kejadian seperti ini memang terulang. Tapi bukan pada mereka. Maka ketika Bulan menangis dan menyebut Tart,
Hello sangat kaget.
“Tart sudah dibeli… hu…hu…hu…,” tangis Bulan kini makin menjadi.
“Jangan bercanda Bulan. Kalau kau bercanda, itu tidak lucu!” Hello tak percaya.
“Aku tak bercanda, Hello. Dua jam yang lalu, Tart dibeli seorang wanita cantik, hu…hu…hu…,” Bulan mengusap air matanya, berusaha meyakinkan bahwa kabar itu benar.
“Jadi benar, Bulan? Bahwa Tart sudah pergi? Hu… hu… hu…,” tangis Hello pun akhirnya pecah. Ia tak sanggup menahan kesedihan. Mereka berdua serentak memandang pada tempat Tart yang kini kosong.
“Iya Hello. Padahal tadi pagi kita bermain bersama, dan bernyanyi, hiks….”
“Tart, Tart, Tart… kamu dimana? Pasti kamu tidak pergi!” Hello masih berusaha untuk tidak percaya. Ia memanggil-manggil nama Tart sahabatnya. Siapa tahu tempatnya saja yang dipindah. Tapi berkali-kali Hello memanggil, tak ada juga jawaban dari Tart. Tampaknya memang benar bahwa Tart sudah pergi.
“Kamu memang benar, Bulan, Tart sudah dibeli. Hiks… hiks… hiks…,” Hello baru benar-benar percaya kalau Tart sudah dibeli. Tiba-tiba mereka melihat seorang petugas meletakkan secarik kertas di rak yang ditempati Hello dan Bulan. Kemudian petugas itu pergi.
“Apa itu Hello?” tanya Bulan.
“Tidak tahu. Ayo kita baca!” jawab Hello. Kertas yang diletakkan petugas itu memang ada di samping Bulan dan Hello. Maka dari itu, mereka dapat membaca tulisan di kertas itu.
“Satu lampu hias bentuk kue tart telah terjual,” Bulan membaca.
“Huh, lebih baik kita tinggal di gudang saja daripada terpisah. Siapa tahu kita pun akan dibeli,” gerutu Hello.
Belum sempat Bulan merespon gerutuan Hello. Tiba-tiba…. “Dua lampu hias ini disimpan di gudang saja! Nanti kalau ada yang beli, baru dikeluarkan!” itu suara pemilik toko. Pemilik toko lampu hias itu menyuruh seorang petugas agar Bulan dan Hello dimasukkan ke gudang. Suatu hal yang justru diinginkan Hello.
“Hello, kata-katamu tadi adalah doa yang terkabul!” bisik Bulan.
“Iya Bulan. Sebab kalau kita tinggal di gudang, akan lebih tenang. Kita tidak akan terlihat oleh para pembeli. Karena itu, kita tidak akan terpisahkan. Kita akan selalu bersama,” tanggap Hello. Mereka berdua sangat gembira.
“Tapi tadi pemilik toko mengatakan, bahwa kalau ada yang mau membeli, kita akan dijual juga,” sergah Bulan masih tetap hawatir.
“Mudah-mudahan tidak!” Hello berusaha menghibur. Petugas toko akhirnya membawa Bulan dan Hello ke gudang. Ia menurunkan Bulan dan Hello, lalu menutup pintu dan pergi.
“Akhirnya sampai juga…,” gumam Bulan.
“Hai, nama kalian siapa?” terdengar suara sapaan. Ternyata sapaan itu berasal dari sebuah lampu hias berbentuk piano.
“Namaku Bulan, dan ini temanku Hello. Namamu siapa? Kami pikir di sini tidak ada lampu hias yang tinggal. Kau berani di tempat gelap seperti ini sendiri?” tanya Bulan.
“Namaku Pinnis. Sebenarnya aku tidak berani ditempat gelap seperti ini. Aku paksakan diri untuk berani dan ya, sedikit berhasil. Karena semua keluarga dan temanku yang sebentuk denganku sudah dibeli semua. Sekarang aku tinggal sendiri dan aku dimasukkan ke gudang ini oleh petugas toko,” jawab Pinnis.
“Kau senasib dengan kami Pinnis. Sebenarnya kami punya satu sahabat lagi, namanya Tart. Tapi, delapan jam yang lalu ia dibeli oleh seorang wanita cantik. Em, tapi kenapa kita masih tetap laku, padahal kita sudah lama dan usang ya?” komentar Bulan.
“Apakah kita akan tetap dijual, meskipun sudah di di gudang? Bukankah kita hanya tinggal menunggu waktu untuk dipecahkan?” tanya Pinnis.
“Iya Pinnis, kita masih akan dijual. Tapi apakah mungkin mereka akan memecahkan kita? Alangkah sedihnya kalau itu benar,” jawab Hello.
“Em, betul. Dulu pemilik toko ini pernah mengatakan, kalau lampu hias yang ada di gudang ini akan dipecahkan. Nah, maka dari itu, aku sebetulnya ingin sekali dibeli, agar tidak dipecahkan.Tapi sampai saat ini, belum juga ada yang membeliku,” Pinnis berkata dengan sedih.
“Tapi, aku dan Hello sudah bersahabat sejak lama dan kami tidak ingin terpisah. Ya walaupun kami juga tidak ingin dipecahkan,” kata Bulan.
“Terus, kalian mau pilih yang mana? Lebih baik berpisah dan memberi manfaat, ataukah tetap bersatu tapi dipecahkan?” tanya Pinnis.
“Kami pilih LEBIH BAIK BERPISAH DARI PADA PECAH!!!” teriak Bulan dan Hello bersamaan.
“Bukankah lebih baik berpisah, tapi masih saling mengingat? Daripada bersatu, tapi tidak berguna, dan akhirnya dipecahkan!” jelas Pinnis.
Hello dan Bulan saling memandang. Mereka belum begitu memahami perkataan Pinnis.
“Terimakasih Pinnis, atas nasihatmu. Em, sudah malam sepertinya. Lebih baik kita tidur saja,” ajak Bulan. Mereka lalu tidur dengan nyenyak.
Esoknya, Bulan dan Hello sudah terbangun. Tetapi….
“Ha! Pinnis, Pinnis, Pinnis, kamu kemana?” teriak Bulan dan Hello.
Tidak lama kemudian, seorang petugas membuka pintu gudang dan menaruh secarik kertas di dekat Bulan. Setelah menaruh kertas, petugas itu menutup pintu dan pergi.
“Satu lampu hias bentuk piano, telah terjual,” Bulan membaca tulisan yang ada di kertas itu.
“Pinnis… hiks… hiks… hiks…,” tangis Bulan dan Hello.
“Kemarin Tart, sekarang Pinnis. Jadi kita hanya berdua lagi. Pinnis, terimakasih atas kata-kata bijakmu…,” kata Bulan.
Sekarang baru ia memahami nasihat Pinnis. Mereka semua berdoa, agar Pinnis baik-baik saja. Mereka juga berdoa, agar ada yang tertarik untuk membeli. Mereka ingin memberi manfaat, seperti nasihat Pinnis. Keduanya pun berjanji akan selalu mengingat Pinnis di dalam hati.
“Lebih baik kita bernyanyi lagu yang kemarin kita nyanyikan, Tart,” ajak Hello.
“Benar, Bulan. Kita bernyanyi saja, untuk sahabat kita Pinnis. Semoga ia mendengarnya juga, di dalam hati.”
Mereka bernyanyi, melupakan semua kesedihan. Hingga sore mereka masih terus bernyanyi. Suaranya Bulan dan Tart terdengar hingga ke luar. Mereka tampaknya mulai senang. Mereka melupakan semua kesedihan, dan mengubahnya menjadi kegembiraan.