Cerpen berjudul Cerita Bringbun dan Chikuita adalah karya Nafisa Nurul Izza. Ia masih berusia 11 tahun saat menulis cerpen bertema peduli lingkungan ini. Pengamatan Nafisa pada sekitarnya, terutama taman kecil di pekarangan rumahnya adalah inspirasi menuliskan cerpen ini.
Di taman pekarangan rumah keluarga Nafisa, tumbuh pohon nangka dan mangga. Manfaat yang sering diperoleh keluarga Nafisa dari pohon itu sering membuatnya berkhayal agar bisa berbicara untuk berterima kasih kepada dua pohon itu.
Cerpen ini menduduki peringkat dua dalam Lomba Menulis Cerita Anak (LMCA) 2012 yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kisahnya tentang keluh kesah sebatang pohon dan seekor burung kutilang. Silakan dibaca, semoga kamu terinspirasi untuk menulis cerita yang lebih baik daripada cerpen ini.
Di taman pekarangan rumah keluarga Nafisa, tumbuh pohon nangka dan mangga. Manfaat yang sering diperoleh keluarga Nafisa dari pohon itu sering membuatnya berkhayal agar bisa berbicara untuk berterima kasih kepada dua pohon itu.
Cerpen ini menduduki peringkat dua dalam Lomba Menulis Cerita Anak (LMCA) 2012 yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kisahnya tentang keluh kesah sebatang pohon dan seekor burung kutilang. Silakan dibaca, semoga kamu terinspirasi untuk menulis cerita yang lebih baik daripada cerpen ini.
Cerita Bringbun dan Chikuita
Oleh: Nafisa Nurul Izza
Kutilang. Begitu nama yang diberikan bangsa manusia kepada kami. Sedangkan sahabat-sahabatku biasa memanggil aku Chikuita. Ya, Chikuita, yang artinya si Kutilang yang suka bercerita.
Hobiku jalan-jalan. Aku suka pergi ke pinggiran hutan. Aku juga suka pergi ke, persawahan, kebun, atau pepohonan rimbun di taman-taman kota ini. Di sana aku biasanya bercerita tentang apa saja pada semua sahabatku bangsa flora dan fauna.
Seperti itulah yang aku lakukan pagi ini. Aku mengunjungi sahabatku Bringbun (Beringin rimbun). Bringbun tumbuh di salah satu pojok Balaikota. Saat aku berkunjung seminggu lalu, buah Bringbun masih kecil-kecil dan mentah. Mudah-mudahan saat ini sudah banyak yang matang. Jadi aku bisa menikmati buahnya sambil bercerita dengan dia.
O, ya, Bringbun sahabatku ini termasuk pohon yang pintar dan tahu banyak hal. Mungkin karena letak Bringbun di pojok Balaikota. Kata Bringbun, setiap hari banyak sekali orang yang duduk-duduk di bawahnya. Mereka ada yang ngobrol, ada yang berdiskusi, ada yang membaca koran, majalah, buku, atau internet di laptop yang mereka bawa. Jadi, secara tidak sengaja Bringbun suka mendengarkan diskusi orang-orang itu, atau menguping saat mereka sibuk ngobrol. Bahkan, seringkali Bringbun ikut membaca buku, majalah, koran, atau informasi-informasi yang ada di internet tersebut. Nah, karena aku juga ingin pintar seperti dia, makanya aku sering sekali mengunjungi Bringbun. Selain ingin mendengarkan berita-berita terbaru dari dia, aku juga bisa menikmati buahnya yang lumayan enak.
Tidak sampai tiga puluh menit meluncur dari markasku di Taman Hutan Raya Kota, aku sudah sampai di salah satu dahan Bringbun. Setelah mengucapkan salam dan menanyakan kabar, aku minta ijin menikmati buahnya yang telah matang. Sambil makan buahnya, dalam hati aku heran dengan sikap sahabatku ini. Tidak seperti biasanya, pagi ini Bringbun sangat pendiam. Padahal biasanya, setiap aku datang dia langsung nyerocos bercerita tentang berbagai hal. Kini Bringbun terlihat kaku dan hanya membisu. Salamku saat datang tadi, juga hanya dijawabnya dengan singkat saja. Ada apa ini, kataku dalam hati.
Karena ingin tahu, aku pun bertanya kepadanya, kenapa dia seperti itu.Tadinya Bringbun tampak ogah-ogahan bercerita. Tapi setelah aku desak, akhirnya dia mau juga curhat kepadaku.
“Tadi malam seseorang hendak membakarku, Chikuita. Dia mengatakan, bahwa tak ada gunanya pohon tumbuh di sini. Untunglah ada yang mencegah.”
“Syukurlah kalau begitu. Tetapi kenapa engkau masih sedih? Bukankah engkau telah selamat?”
“Sahabatku Chikuita, aku sedih karena masih saja ada manusia yang tidak mengerti. Tahukah kamu, Chikuita, bahwa selama ini kamilah bangsa pepohonan di kota ini, yang paling menderita?” tanya Bringbun.
“Kenapa kau berkata seperti itu Bringbun?” Aku balik bertanya.
“Begini Chikuita. Tiap hari, kami bangsa pepohonan, dari pagi hingga larut malam harus bekerja keras menyerap polusi udara. Udara-udara kotor penuh racun itu, dikeluarkan dari berbagai kendaraan milik bangsa manusia. Setiap hari jumlah kendaraan semakin bertambah banyak, sementara jumlah pepohonan semakin sedikit. Padahal kami harus mengubah udara yang kotor dan beracun tersebut, menjadi oksigen bersih yang dibutuhkan manusia,” demikian Bringbun mengawali curhatnya.
Aku hanya mengangguk-angguk, mendengarkan curhat Bringbun yang panjang lebar. Sambil terus menikmati buahnya.
“Kamu tahu Chikuita. Walaupun pekerjaan rutin semacam ini melelahkan, tapi kami tulus dan ikhlas melakukannya. Karena memang begitulah tugas utama kami, ketika diciptakan Tuhan. Kami bahagia bisa memberikan manfaat kepada bangsa manusia.” Suara Bringbun terdengar ditekan, seolah-olah seluruh kesedihan hendak ia tumpahkan.
Aku mengangguk setuju, dan menunggu cerita selanjutnya.
“Tapi tahukah balasan apa yang kami terima? Balasan dari sebagian besar bangsa manusia penghuni kota ini, kepada kami?”
Aku terdiam dan menunggu.
“Semakin padat dan kotor kota mereka, maka semakin banyak bangsa kami dianiaya, dirusak, bahkan dibantai!” kini suaranya terdengar marah dan kesal.
“Masukdmu bagaimana, Bringbun?” tanyaku tidak paham.
“Lihat saja, Chikuita, lihat dengan cermat. Sekarang aku akan membuka rahasia ini. Coba engkau hitung, ada berapa ratus paku di tubuhku? Coba kau terbang berkeliling, dan hitung satu per satu,” Bringbun berhenti berbicara. Aku sungguh terkejut mendengar hal ini.
“Sekarang ini aku mulai sakit, Chikuita,” kata Bringbun melanjutkan.
“Paku-paku itu, lama-lama berkarat, dan mengotori aliran getahku. Menghambat suplai makanan dari akar menuju daun. Kemarin-kemarin aku masih bisa berusaha bertahan.”
“Kenapa mereka tega melakukan itu, Bringbun?” aku spontan kembali bertanya.
“Karena bangsa manusia selalu meremehkan yang lain. Selalu ingin mudah, dan murah. Mereka memasang poster, pengumuman, iklan-iklan, bahkan bendera-bendera, dengan memaku dan memotong dahan-dahan seenaknya. Bahkan memaku tubuh-tubuh kami dengan besi, lalu meninggalkan besi-besi itu, untuk mereka pergunakan kembali pada saat dibutuhkan.”
Aku segera menghentikan makanku, dan melihat-lihat dahan Bringbun. O la la.., Aku hitung, hanya dalam satu dahan saja, hampir ada tiga puluhan paku berbagai ukuran yang menancap. Belum pada batangnya, aku melihat ratusaan paku, hingga besi-besi yang menonjol, sungguh mengerikan. Aku bergidik dan membayangkan betapa sakitnya.Karena mungkin sudah lama, sebagian besar paku-paku tersebut sudah berkarat.
“Dengan banyaknya paku yang menancap itu, tubuhku jadi luka-luka dan sakit. Pembuluh getahku banyak yang terputus. Akibatnya jalur saluran makananku menjadi terhambat. Untungnya batangku cukup besar, jadi aku masih bisa bertahan. Tapi bagaimana coba, dengan teman-temanku pohon-pohon yang masih kecil itu? Kalau di tubuhnya penuh paku, dia bisa kering dan akhirnya banyak yang mati sia-sia!”, ujar Bringbun kembali terlihat marah dan kesal.
“Ya, ya, kamu benar Bringbun,” kataku membenarkan.
“Selain melukai kami dengan paku dan besi, tangan-tangan jahil bangsa manusia juga tega-teganya menyayati kulit batang tubuh kami dengan belati dan pisau kater. Mereka mencoba menuliskan namanya, atau nama gengnya, di tubuh kami. Mereka menyayati kulit tubuh kami, tanpa berpikir bahwa perbuatan itu membuat kami sakit. Betapa kejamnya mereka, bukan? Dikiranya dengan melakukan hal itu, nama mereka akan terkenal. Sungguh-sungguh biadab.”
“Ya, betul-betul biadab,” aku mengamini ucapan Bringbun. Aku kini bisa melihat bahwa Bringbun memang sakit. Ada banyak cabang pohonnya yang kering. Lebih banyak daun Bringbun yang mulai berwarna kuning.
“Masih ada satu lagi perbuatan biadab yang menyiksa. Banyak manusia yang tidak pernah berpikir, dengan tega membakar sampah di dekat kami! Benar-benar tidak memiliki perasaan. Alasan mereka sungguh sederhana sekali. Hanya karena mereka tidak ingin repot membuang daun-daun kering bangsa kami, ke tempat sampah. Mereka tega membakar daun-daun itu, di dekat kami,” kini suara Bringbun memelas dan menyayat hati.
“Akibat perlakuan itu, aku dengar banyak teman-temanku di sepanjang jalan kota ini yang mati. Daun-daunnya meranggas, batangnya melepuh, lalu kering dan tumbang. Kalau sudah demikian, mereka dengan gembira menjadikannya kayu bakar. Bayangkanlah Chikuita, kami pepohonan di kota ini, yang telah banyak berjasa pada manusia, akhirnya hanya menjadi kayu bakar,” kali ini Bringbun meneteskan air mata. Aku pun jadi ikut terharu.
“Aku tahu penderitaanmu, sahabatku Bringbun. Kami juga, bangsa burung, sesungguhnya juga sangat menderita. Semakin padat dan kotor kota ini, semakin banyak kami mengalami musibah. Kami banyak ditangkapi dan diperjualbelikan,” kataku balik bercerita kepada Bringbun.
“Memang sebagian dari kami diberi sangkar, bahkan ada yang sangkarnya sangat indah. Selain itu kami juga diberi makanan yang enak-enak. Tapi apa artinya diberi sangkar yang indah, serta makanan yang enak-enak, jika setiap hari kami dikurung?” kataku melanjutkan cerita.
Bringbun tampak mulai tertarik mengikuti ceritaku.
“Selain diperjualbelikan, kami juga ramai-ramai dibunuh. Bukan untuk diambil dagingnya, tapi dibunuh untuk kesenangan. Kami diketapel, atau ditembaki menggunakan senapan angin, betul-betul semata-mata hanya untuk kesenangan saja. Padahal katanya, kami dilindungi undang-undang. Tapi kenyataannya, para penembak, pemburu, dan penjual burung, tak pernah mendapat hukuman. Jadi, nasib kita sesungguhnya sama, Bringbun…,” kataku.
Baru saja selesai bicara seperti itu, tiba-tiba saja dari arah bawah ada sesuatu yang menyerempet sayap kiriku. Sedikit terasa sakit. Kemudian kudengar Bringbun berteriak-teriak menyuruh agar aku segera terbang. Katanya, di bawah ada dua orang remaja yang mencoba memburuku dengan ketapelnya.
Aku jadi kaget dan panik. Belum lagi aku mencoba terbang, tiba-tiba benda keras kembali menyerempet tubuhku.
Bringbun kembali berteriak-teriak menyuruh aku segera kabur. Bahkan, ia kini menggoyang-goyangkan seluruh cabang, dahan dan ranting-rantingya. Akibatnya, daun-daun kering dan debu-debu yang menempel di Bringbun serentak berjatuhan dan membuat mata kedua pemburu itu kelilipan. Keduanya terdengar berteriak-teriak kesakitan sambil menguceki matanya. Bringbun kembali berteriak memintaku agar segera kabur.
Kesempatan ini tidak aku sia-siakan. Walaupun sayapku sedikit pegal, aku segera mengambil kepak seribu. Aku pamitan dan langsung kabur meninggalkan sahabatku Bringbun yang masih terus menggoyang-goyangkan seluruh tubuhnya. Sedangkan di bawah Bringbun, kedua pemburu jahat itu masih berteriak-teriak kesakitan. Karena selain keduanya matanya kelilipan, juga tubuhnya tampak bentol-bentol akibat kejatuhan ulat bulu. Keduanya terus berteriak-teriak dengan kedua tangannya sibuk menggaruki tubuhnya yang gatal.
Sambil aku pulang kembali ke markasku di Taman Hutan Raya, dalam hati aku bersyukur dan yakin bahwa masih ada Tuhan Maha Adil. Segala perbuatan pasti akan mendapatkan balasannya. Jika kita berbuat baik akan berbuah kebaikan, dan jika kita jahat akan berbuah keburukan pula.[*]
sumber: http://www.koko-nata.net/2015/06/cerita-bringbun-dan-chikuita-cerpen.html