Kisah-kisah tentang bencana alam masih jarang diangkat oleh para penulis cilik. Mungkin para penulis cilik jarang yang terkena bencana alam atau bersentuhan langsung dengan bencana alam itu.
Syukurlah seorang anak dari berusia 11 tahun yang tinggal di Bogor bernama Rubee Putri Risdiyanto menuliskannya. Rubee menggunakan sudut pandang pakaian yang disumbangkan dalam menuturkan ceritanya.
Berdasarkan penuturan Rubee pada biodatanya di antologi 15 Naskah Terbaik Lomba Menulis Cerita Anak (LMCA) Tahun 2014, sepertinya cerpen ini bukan berdasarkan kisah nyata yang dialaminya. Meskipun begitu, ceritanya cukup bagus dan menyentuh sehingga menjadi juara 3 Lomba Menulis Cerita Anak (LMCA) Tahun 2014. Selamat membaca, semoga terinspirasi.
Kisah Perjalanan Sebuah Baju
Oleh: Rubee Putri Risdiyanto
Gempa bumi bisa terjadi setiap saat, dan selalu menimbulkan kekhawatiran bagi para penghuni pantai. Bermacam kesibukan, serta suara-suara mesin kapal, bisa langsung lenyap dalam sekejap. Bencana alam telah membuat segalanya menjadi sunyi.
Sebuah tas itu terlihat dari dalam lemari yang terbuka.
Inilah saatnya! Aku harus siap berdesak-desakan dengan teman-temanku, dan tidur di dalamnya.
“Bu, apakah ini jadi dibawa?” ujar suara yang sering kudengar. Hari ini ia tidak seperti biasanya. Ia memegangku dengan sangat-sangat kasar.
“Terserah kamu aja, Ndok. Tapi cepetan ya!” ujar suara yang selama ini merawatku dengan baik. Ia memasukkanku ke dalam tas begitu saja tanpa melipatku. Aku berpikir ia akan melipatku. Ternyata tidak, resetling itu langsung ditutup dalam hitungan detik.
Kulihat teman-temanku dengan wajah yang cukup kusut dan itu mengartikan bahwa mereka sedang bersedih. Mataku tertuju pada sebuah celana panjang yaitu, konco cedekku. Aku menyapanya.
“Hai, friends,” sapaku sambil bergaya. Kemarin aku mendengar kata-kata itu, dari pemilikku yang tengah belajar bahasa Inggris.
“Kenapa? Gaya banget si Jutek,” ujar Lana sambil mengejek namaku.
“Ugh, aku gak suka nama itu tau. Lagian namaku Judek, bukan Jutek,” kataku membela. Lana hanya diam saja, tidak seriang biasanya. Aku sering melihat Lana sedih tapi aku tak pernah melihatnya sesedih ini.
”Kenapa Na? Kan asyik kita mau merantau ke tempat yang lebih jauh,” hiburku. Tapi Lana masih saja terlihat sedih.
”Ju, kamu gak tau kita mau dibawa kemana?” tanyanya.
”Nggak tau tuh, kayaknya kita mau dibawa ke puncak gunung deh. Soalnya pemilik kita bawa bajunya banyak sih,” ucapku.
”Kita mau dibawa ke pasar loak tahu!” ujarnya lagi sambil berusaha menahan tangisnya. Kalimat itu cukup mengagetkanku. Aku terdiam membisu dan berusaha menenangkan diri.
Tak lama kemudian aku merasa diangkat oleh seseorang yang belum kukenal. Refleks aku langsung membuka mataku dan mencari teman baikku, Lana. Tak terlihat kain indah yang berwarna ungu muda dengan hiasan bunga dan pernak-pernik di kantungnya. Tidak pula terlihat teman-temanku yang lain.
Setelah beberapa lama mendengar percakapan pemilikku, Mela, dengan penjaga toko pakaian bekas. Aku tahu bahwa teman-temanku tidak jadi dijual. Hanya aku saja yang dijual. Walaupun aku sedih tapi aku menahan tangisanku. Pikirku, siapa yang mau membeli atau memakai baju bekas yang usang? Selama hampir lima tahun ini aku menemani Mela, dan akulah baju yang paling sering melekat pada tubuhnya karena aku adalah baju favoritnya. Tapi sekarang Mela sudah besar dan aku sudah tidak muat lagi ditubuhnya. Oleh sebab itu, sekarang disinilah aku berada, gudang toko pakaian bekas. Ah, tadinya aku sempat berharap Mela mau mengirimkan aku ke panti asuhan. Aku masih ingin dipakai oleh siapa saja. Tapi apa daya….
* * *
Sudah tiga hari aku digantung di sudut ruangan. Di tempat ini, aku mendapatkan teman bernama Tunglek, si gantungan baju yang sedang menggantungku. Juga Dunglek, si kerudung coklat. Mereka sudah tiga tahun di toko ini. Aku bingung mengapa Dungle, tidak tidak pernah dibeli orang, padahal menurutku kain berwarna coklat dengan renda-renda berwarna putih itu cukup bagus. Mungkinkah karena ia terletak di sudut ruangan? Ah sudahlah tidak usah dipikirkan aku menjadi semakin pusing.
“Dung, kok namamu Dungle sih kan gak cocok untuk kamu?” tanyaku.
“Ah ceritanya panjang…. Jadi waktu itu sang penjaga toko membeli gantungan baju baru yang sangat banyak, salah satunya adalah Tunglek,” jelas Dungle memulai sambil tersenyum ke arah Tunglek. “Sebetulnya waktu itu aku masih satu bulan disini tapi aku merasa aku sudah sangat lama berada di tempat ini, jadi aku mengejek teman-teman baru. Dari banyak yang kuejek hanya Tunglek yang membalas ejekanku. Lalu dibalasnya aku dengan sebutan pengejek. Aku nggak terima jadi ya dia kuejek dengan sebutan Tunglek atau gantungan jelek. Ternyata dia juga nggak terima jadi ngejek aku dengan nama Dungle atau kerudung elek. Nah, kan kita saling nggak terima jadi keterusan deh. Dan sekarang itu adalah identitas kami,” jelas Dungle panjang lebar.
Aku hanya tertawa sedangkan Tunglek hanya diam dengan wajah cemberut. Dilanjutkan dengan pembicaraan seputar toko, Tunglek masih saja diam yang sepertinya masih marah. Dari pembicaraan tadi aku mengerti bahwa Dungle masih ingin digunakan lagi. Aku mengerti tiga tahun terpajang di sudut toko yang jarang dikunjungi oleh orang, pasti itu sangat membosankan. Tiba-tiba lamunanku lenyap saat Dungle selesai bicara dan banyak teriakan-teriakan manusia.
Tiba-tiba tubuhku terasa bergoyang-goyang. Getaran hebat membuat diriku jatuh, begitu juga dengan Tuglek yang menimpaku. Wajah Tunglek panik dan kebingungan. Dug. Terdengar suara Dungle dan teman-temannya terjatuh menyusulku dan Tunglek.
”Tsunamiiiii!!! Tsunamiiiiii!!!” bercampur suara keras menderu yang membuat telingaku menjadi sakit.
”Judek… apa yang terjadi???” teriaknya. Tak sempat sampai kujawab pertanyaan Dungle, dalam hitungan detik air membasahiku dan menarikku serta seluruh isi bangunan gudang ini entah kemana. Gelap. Tak ada yang bisa kulihat. Beberapa saat kemudian, kubuka mataku, ah… ternyata air ini membawaku ke lautan lepas. Apa gerangan yang terjadi? Bagaimana aku bisa sampai ke laut? Di mana teman-temanku? pikirku. Kejadian ini teramat cepat untuk kucerna. Kuputuskan untuk berteriak minta tolong, tapi itu sama sekali tidak membuahkan hasil. Akhirnya kututup saja lagi mataku dan mencoba menahan rasa dingin yang tidak bisa dihindari. Aku hanya berharap, semoga diriku bertemu dengan daratan.
Tak tahu aku menunggu apa. Tapi pikiranku tentang lautan yang luas ini selalu menghantuiku. Sampai kapan aku mengambang di sini? Sampai kapan aku harus terpanggang dibawah teriknya matahari? Aku tidak ingin membayangkan kalau aku akan tersangkut di karang apalagi bertemu dengan ikan bertubuh licin yang memakan rumput laut? Oh…, jangan sampai ada ikan yang tertarik untuk mengoyakku, doaku.
Tiba-tiba dari kejauhan seperti terdengar suara-suara yang sekian lama tak asing bagiku, itu suara-suara kesibukan manusia! Ternyata sebuah kapal sudah berada tak jauh dari tempatku mengambang. Kapal itu mengeluarkan jaring dan menangkapku bersama ikan-ikan kecil yang lainnya. Sampailah aku di geladak kapal bersama ikan-ikan yang mengelepar-gelepar.
“Terimakasih Tuhan engkau telah menolongku,” ujarku dalam hati. Tak lama kemudian manusia yang menebarkan jaring itu memegangku dan berkata “Iki kelambi sik iso dienggo, wis tak jupuk ae.” Ia memasukkanku ke dalam kantong plastik yang terpisah dengan ikan. Aku senang sekali ternyata aku masih berada di tanah Jawa. Orang itu membawaku ke sebuah rumah. Aku dicucinya dan dijemur dibawah terik matahari. Ah…, aku merasa wangi dan segar kembali. Tak sabar aku menunggu, siapa gerangan yang akan memakai aku. Setelah kutunggu lama ternyata belum ada satupun anak yang mengenakanku. Aku masih teronggok di lemari terbuka bersama lipatan baju-baju lainnya.
Beberapa kali sempat kudengar pembicaraan nelayan-nelayan muda itu. Kuketahui akhirnya bahwa mereka adalah nelayan yang berasal dari Jawa dan menetap di pantai Sumatra Utara. Ah, jadi kesimpulannya, sekarang ini aku berada di daratan Sumatera. Aku tidak menyangka bahwa aku sudah melewati lautan yang sangat luas itu.
“Mesake sing jadi korban Gunung Sinabung,” ujar nelayan pertama, dengan bahasa Jawa yang kukenal. “Kasihan yang menjadi korban letusan Gunung Sinabung,” begitulah kira-kira kalau diterjemahkan. Aku menjadi tahu, ternyata tsunami yang menyeretku jauh ke laut itu akibat letusan Gunung Sinabung.
“Iyo, lek ono duwit akeh yo aku gelem nyumbang. Lha wong golek iwak musime koyok ngene angel tenan…” nelayan lain di depannya menjawab. Aku kembali menerjemahkan kalimat yang diucapkan nelayan itu dalam hati, yang artinya, “Iya, kalau punya uang banyak aku ingin memberi sumbangan. Tapi ikan sedang tidak musim, sangat sulit mendapatkan ikan…”
“Lha… lek niat nyumbang, gak mesti duwit tho…iku lho ono kelambi akeh nggak kanggo. Wes kirimen ae kelambi-kelambi kui,” sambung nelayan pertama sambil menunjuk ke arah lemari tempat kuberada. (Lha…. kalau berniat menyumbang, kan tidak mesti harus uang. Baju yang tidak terpakai juga boleh. Ya sudah, kirimkan saja baju-baju itu.)
“Oke bos, tak ringkesi yo, sesok tak deleh neng mesjid tempate ngumpulno sumbangan” (Baik, aku bungkus saja baju-baju itu. Besok pagi kita letakkan baju-baju itu di mesjid tempat orang-orang mengumpulkan sumbangan), kata nelayan itu sambil memasukkanku dan beberapa lipat baju lainnya ke kantung plastik. Keesokan harinya dia menyerahkan kepada petugas yang mengurus sumbangan untuk para korban.
Tak lama setelah menempuh perjalanan panjang aku melihat tenda besar yang dipenuhi oleh ribuan orang. Kulihat banyak sekali orang di dalam tenda ini, ada yang sedang menangis, sedang wawancara, mengantri makanan dan berebutan mengambil kiriman bantuan.
“Bapak dan ibu ini ada kiriman bantuan. Silahkan diambil bagi yang memerlukan!!!” teriak bapak petugas yang membagikan kiriman bantuan.
Tiba-tiba seorang anak mencengkramku dengan kuat. Aku kaget sekali. “Mak aku dapat baju!” ujar anak yang mencengkramku tadi.
“Ya bagus, Nak. Pegang erat-erat, nanti direbut orang. Baju itu bisa kau pakai untuk mengganti bajumu yang sudah satu minggu tak kau ganti, Nak,” kata Ibunya. Aku terkejut karena ia hanya mempunyai satu baju yang layak pakai.
Aku bersorak, akhirnya aku dipakai orang lagi. Betapa senang rasanya bisa dipakai kembali apa lagi oleh orang yang sangat membutuhkanku. Aku juga baru tahu ternyata beginilah kehidupan di pengungsian. Baju hanya satu dipakai berhari-hari, kekurangan makanan dan lain-lain. Tapi mereka hebat tidak mengeluh dan menjalani semunya dengan ikhlas. Aku menyesal karena terkadang aku masih saja mengeluh.
Terimakasih Tuhan, tidak ada yang lebih berarti bagiku selain bisa bermanfaat untuk orang yang membutuhkan. Semoga aku tetap bisa bermanfaat sampai kainku menjadi lapuk oleh tanah…, amin. Begitulah doaku. [*]