Seperti biasa saat istirahat tiba, anak-anak bermain, makan kue, membaca buku. Dan seperti bias, aku menjadi pengamat mereka ^_^.
Pagi itu ada sekelompok anak berlari-larian, mengitari sekolah yang belum 100% jadi. Senyum mengembang meski keringat bercucuran. Ada yang menubrukku, sembunyi di bawah meja, di balik papan, dan tempat lain. Hingga mereka kelihatan capek, berhenti, dan tertawa bersama.
Asyik-asyiknya mengamati, aku dikejutkan oleh salah satu dari mereka. Sebut saja dia Kayana, salah satu muridku yang pendiam, butuh adaptasi lebih lama unntuk dekat dengan teman-teman, dan lebih suka sendiri.
Hari ini dia berlarian dan bercanda dengan teman-temannya, hatiku girang. Bocah kecil itu mengeluarkan satu sachet wafer isi enam potong. Beberapa teman bergerombol minta. Dengan tersenyum dibagikannya wafer itu hingga bersisa hanya 2 potong. Yang belum kebagian 4 anak. Aku mendekati mereka.
Dalam hatiku, kasihan si Kayana tidak kebagian. Keringatnya mengucur deras, wajahnya memerah, sepertinya dia benar-benar capek.
“Mas minta tolong kalau minta tidak memaksa ya, kasihan Kayana belum kebagian,” ujarku pada beberapa anak.
“Karena tinggal dua, yang satu dibagi,” menyerahkan satu potong untuk tiga anak. Dan satu potong untuk Kayana.
Kayana menerima wafer itu dengan tersenyum, “kresh” dia membagi satu potong itu menjadi tiga bagian. Kemudian menyerahkan dua diantaranya pada teman yang lain. Dengan tersenyum dia memakan bagian terkecil dari wafer itu. Trenyuh aku melihatnya, dia yang membawa tapi dapat yang paling sedikit.
“Mas, nggak apa-apa?” tanyaku.
Ia menggeleng sambil tertawa. Kembali berlarian dengan teman yang lain.
Ehm.. ternyata ketidaktegaanku salah 100%! Aku tidak tega ketika Kayana mendapat bagian terkecil wafer. Namun berbagi malah membuatnya bahagia. Nak… nak… ada saja perilakumu yang membuat ibu terpana.