Pertama memasuki Desa Soge, Kecamatan Kangdanghaur salah satu kecamatan di Indramayu, kami disambut oleh pemandangan pesisir yang aduhai, pesona ratusan hektar tanah pertanian, bau amis ikan di beberapa titik, dan akses jalan yang belum diaspal.
Desa yang menghasilkan ribuan ton padi dan ikan ini bisa dikatakan jauh dari kota, jika tidak boleh dikatakan terpencil. Untuk mengaksesnya butuh perjuangan. Kebetulan kami memasuki wilayah tanpa aspal ini saat tengah malam. Sekitar setengah jam sampai satu jam, dua mobil yang mengangkut kami berjuang melewati tanah becek, naik turun, dan banyak lubang. Belum lagi kanan kiri yang ada hanyalah pohon, sawah, dan pantai. Gelap.. berasa horor.
Tambah lagi di tengah jalan mendadak salah satu teman kebelet pipis. Doi tidak berani keluar karena kanan kiri gelap, sedang rasa kebelet itu di ujung tanduk. Tambah bikin penduduk mobil geeer…
“Kalau cowok enak, tinggal masukin plastik. Lha ini perempuan hahaha,”
“Ndak ah, aku tahan saja.”
Kami pun melanjutkan perjalanan. Lha karena kondisi jalan yang tidak rata, penuh lubang, dan naik turun doi panik. “Hadeuh bagaimana ini, Bu, nanti kalau mobilmu basah ikhlas ya,”
“Ndak.. hayo turun!” protes Bu Mus pemilik mobil. Antara ingin tertawa dan kasihan lihat salah satu teman yang menahan kencing.
“Kencing di situ ya, itu ada bapak-bapak yang sedang kumpul. Biasanya kalau panen aku numpang kencing di belakang pondok itu,” Bu Mus menawari.
“Ndak, takut. Tapi aku nggak tahan.”
“Atau di situ, tuh di tikungan sawah. Sepi. Kami jaga,” tawar yang lain.
“Ndaaak.. ini masih lamakah?”
“Tuh, di sana di lampu-lampu itu,” Bu Mus menunjukan lampu penduduk desa.
“Whuaa masih jauh.” Teriaknya. Iya lumayan kalau untuk menahan kencing yang sudah protes minta keluar.
“Nanti numpang di salah satu muridku,” kata Bu Mus.
“Masih lama?”
“Iya, tapi tidak sejauh dengan rumah penduduk.”
Ya begitulah, bisa dibayangin bagaimana perjalanan kami saat itu. Gelap pake banget, jalan berkelok, tidak rata, dan berbatuan. Malam kedua, lewat tengah malam, salah satu mobil yang kami tumpangi slip, so rombongan yang baru sampai rumah langsung kembali ke jalan untuk mendorong si mobil.
Cerita lain, saya dan teman-teman yang pernah ke Pare berencana kopdar dengan teman yang asli Indramayu. Tempat dan hari sudah ditentukan. Harap-harap cemas saya menunggu. Pas asyik nyuci mobil, tiba-tiba doi mengagetkan.
“Whuaaa Ini masih wilayah Indramayu ya?” sambil cipika cipiki
gubraaak..
“Yaiyalah, ini Desa Soge,”
“Ampun, aku pikir aku bakal
nyasar dan tidak menemukan kampung lagi. Jauh banget dari jalan raya, mana becek,” ia menunjukan sepatunya yang penuh dengan lumpur.
nyasar dan tidak menemukan kampung lagi. Jauh banget dari jalan raya, mana becek,” ia menunjukan sepatunya yang penuh dengan lumpur.
“Belum pernah kesini sebelumnya?”
“Bukannya belum, malah baru tahu kalau ada desa di sini,”
Kami ngakak bareng-bareng. Itu pula yang saya rasakan saat tengah malam dan seakan tidak menemukan ujung jalan yang menunjukan adanya desa. hehehe
Oiya..kata sumber yang bisa dipercaya, desa ini tidak ada dalam peta. Weeuuww..
Kata Bapak Camat, “butuh perjuangan untuk mengajak anak sini sekolah. Tak jarang guru menjemput anak di rumah dan membujuknya agar mau sekolah. Bahkan ada siswa SMA yang belum bisa baca. Kondisi masyarakat pesisir berbeda dengan desa lain. Motivasi anak dan orang tua kurang untuk melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi.ini terlihat dari beberapa masyarakat yang belum melek huruf. Dulu ada program super motivasi untuk anak berprestasi yang tidak mampu yang ingin lanjut sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Tapi sayang sekarang program tersebut dihapus.” Wah.. mengajak aja sulit, bagaimana dengan mengajar dan mendidik? Salut dengan Ibu Bapak guru desa Soge.
Cerita Bapak Camat membuat saya teringat oleh kalimat Bu Dr. Dewi Utami Faiza dari Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar Satgas Gerakan Literasi Sekolah) “Pemerataan Lebih Penting dari Peningkatan Kualitas.”
Saya sepakat sekali dengan kalimat ini, bisa jadi tingkat pendidikan Indonesia yang rendah dikarenakan adalah kurang meratanya pendidikan di beberapa daerah terpencil. Kalau kita tahu, pendidikan di kota-kota tertentu, olympiade pelajar, dan berbagai kompetisi lain siswa Indonesia tak kurang pintar dari pelajar negara lain. Bahkan ada yang dapat emas. Inilah yang membuat saya tepuk tangan dengan program Indonesia Mengajar yang dirilis oleh Bapak Anies Baswedan Menteri Pendidikan tahun 2014-2016 yang kemudian program ini diadaptasi oleh beberapa universitas di Indonesia dengan nama lain.
Cerita lain dari salah satu Desa Soge, “beberapa orang tua desa Soge adalah TKI dan TKW. Anak diasuh oleh kakek nenek. Tahu sendirilah bagaimana jika anak diasuh oleh kakek nenek yang kurang paham masalah pendidikan.” Hati saya menyenandungkan lagu Tik Tik Tik Bunyi Hujan secara perlahan.
Ya, inilah sedikit cerita tentang Desa Soge. Ironis sekali dengan negara Indonesia yang mendapat predikat negara agraris dan yang juga memiliki lagu Nenek Moyangku Seorang Pelaut. Sedang di salah satu daerah yang dekat dengan provinsi Ibukota mengalami miskin pendidikan, masyarakat lebih bangga menjadi TKI/TKW dibanding bekerja di sawah meski sawah di sini berhektar-hektar, dan masih ada yang belum melek aksara.
Oiya tak hanya itu, Desa Soge juga memiliki sumur minyak yang dekat dengan akses jalan warga. Ini jawaban dari pertanyaan saya yang melihat api tak kunjung padam saat mengunjungi desa.
Dari wikipedia saya mendapat kabar bahwa Indramayu, dari wilayah seluas 204.011 hektar, 41,90 persen merupakan tanah sawah. Meski sering dilanda banjir, enam tahun terakhir Indramayu masih nomor satu dalam produksi padi se-Provinsi Jawa Barat. Produksi padi selama kurun waktu tersebut
mencapai lebih dari satu juta ton per tahun. Salah satunya Desa Soge. Di luar padi, bumi Indramayu rupanya kaya akan minyak dan gas bumi (migas). Sejak tahun 1970 migas mulai dieksploitasi oleh Pertamina melalui penggalian sejumlah sumur. Dari ratusan sumur yang dibor, daerah-daerah yang berhasil memproduksi adalah Jatibarang, Cemara, Kandanghaur Barat dan Timur, Tugu Barat, dan Lepas Pantai. Pada tahun 1980 Pertamina mendirikan terminal
Balongan untuk menyalurkan bahan bakar minyak (BBM). Kilang yang dibangun tahun 1990 tersebut mulai beroperasi pada tahun 1994. Dikelola oleh Pertamina Unit Pengolahan (UP) VI Balongan, produksi kilang BBM berkapasitas 125.000 BPSD (barrel per stream day) boleh dibilang seratus persen disalurkan untuk DKI Jakarta. Sedangkan produksi gas atau LPG yang dikelola Kilang LPG Mundu VI dengan kapasitas 37,3 MMSCFD (juta kaki kubik per hari) di Kecamatan Karangampel, disalurkan untuk Jawa Barat dan DKI Jakarta.
mencapai lebih dari satu juta ton per tahun. Salah satunya Desa Soge. Di luar padi, bumi Indramayu rupanya kaya akan minyak dan gas bumi (migas). Sejak tahun 1970 migas mulai dieksploitasi oleh Pertamina melalui penggalian sejumlah sumur. Dari ratusan sumur yang dibor, daerah-daerah yang berhasil memproduksi adalah Jatibarang, Cemara, Kandanghaur Barat dan Timur, Tugu Barat, dan Lepas Pantai. Pada tahun 1980 Pertamina mendirikan terminal
Balongan untuk menyalurkan bahan bakar minyak (BBM). Kilang yang dibangun tahun 1990 tersebut mulai beroperasi pada tahun 1994. Dikelola oleh Pertamina Unit Pengolahan (UP) VI Balongan, produksi kilang BBM berkapasitas 125.000 BPSD (barrel per stream day) boleh dibilang seratus persen disalurkan untuk DKI Jakarta. Sedangkan produksi gas atau LPG yang dikelola Kilang LPG Mundu VI dengan kapasitas 37,3 MMSCFD (juta kaki kubik per hari) di Kecamatan Karangampel, disalurkan untuk Jawa Barat dan DKI Jakarta.
Tingkat pendidikan penduduk yang diteliti oleh UNDIRAMA SEGERAN ketika melaksanakan KKN Tematik
a. Tamat SD :
279 Jiwa
279 Jiwa
b. Tamat
SLTP :
103 Jiwa
SLTP :
103 Jiwa
c. Tamat
SLTA :
53 Jiwa
SLTA :
53 Jiwa
d. Lulus
D1 :
8 Jiwa
D1 :
8 Jiwa
e. Mahasiswa :
2 Jiwa
2 Jiwa
Berita dari media online cukup membuat saya garuk garuk kepala yang tidak gatal, “Pembangunan infrastruktur di Desa Pranti, Kecamatan Kandanghur, Kabupaten Indramayu, Jabar kondisinya masih jauh tertinggal dibandingkan desa lain. Padahal, sumber daya alam (SDA) di Desa Pranti kaya hasil tambang minyak dan gas yang sudah puluhan tahun disedot hasil buminya untuk Negara. Namun yang mengherankan, insfrastruktur di Desa Pranti dan desa-desa lain di Kecamatan Kandanghaur masih jauh tertinggal dibandingkan desa lainnya yang tak memiliki migas. Desa-desa di Kecamatan Kandanghaur yang insfrastruykturnya tertinggal selain Desa Pranti juyga Desa Soge dan Desa Curug.Sudah puluhan tahun masyarakat Desa Pranti mimpi ingin jalannya bagus. Namun hingga sekarang belum juga terealisasi. Mereka hanya menggunakan infrastruktur jalan Pertamina yang kondisinya bebatuan, belum beraspal.
Sedih sekali bacanya, lebih sedih ketika
berkunjung ke sana. Jalanan sulit, minim penerangan, kanan kiri hutan, air bening sulit ditemukan, dan berbagai kondisi lain. Besar sekali harapan kepada
pemerintah agar lebih memperhatikan desa ini. Pasti luar biasa jika masyarakat Desa Soge memiliki kehidupan yang layak dan bangga sebagai petani serta
nelayan, menyenangkan sekali jika memasuki daerah ini tidak tercium bau amis ikan dan bau busuk sampah, elegant jika hijaunya padi tidak dihiasi oleh
tumpukan sampah yang mengganggu pemandangan.
berkunjung ke sana. Jalanan sulit, minim penerangan, kanan kiri hutan, air bening sulit ditemukan, dan berbagai kondisi lain. Besar sekali harapan kepada
pemerintah agar lebih memperhatikan desa ini. Pasti luar biasa jika masyarakat Desa Soge memiliki kehidupan yang layak dan bangga sebagai petani serta
nelayan, menyenangkan sekali jika memasuki daerah ini tidak tercium bau amis ikan dan bau busuk sampah, elegant jika hijaunya padi tidak dihiasi oleh
tumpukan sampah yang mengganggu pemandangan.
Melihat lebih dekat Desa Soge
tumpukan sampah |
kondisi jalan dilihat dari dalam mobil |
Api Abadi. Siang malam, panas terik dan hujan tak akan padam |
Langit kala itu.. |