Saya dan anak-anak memiliki kebiasaan berbagi cerita, our
time istilahnya. Ehm.. hitung-hitung sebagai pendengar setia mereka. Mereka cerita
apa saja! Mulai dari keluarga, teman, hal yang membuat sebel, pengalaman di
sekolah, dan lain-lain. Yang saya suka dari mereka adalah kalau cerita sambil
memperagakan, jadi seperti nonton film. Saking serunya bisa sampai berjam-jam.
time istilahnya. Ehm.. hitung-hitung sebagai pendengar setia mereka. Mereka cerita
apa saja! Mulai dari keluarga, teman, hal yang membuat sebel, pengalaman di
sekolah, dan lain-lain. Yang saya suka dari mereka adalah kalau cerita sambil
memperagakan, jadi seperti nonton film. Saking serunya bisa sampai berjam-jam.
Kebiasaan ini saya bentuk agar mereka tidak canggung dan
merasa kami dekat. Kami saling
menasehati, berbagi, dan mengatasi masalah di kelas secara diam-diam. Pernah
kami membuat skenario untuk mengubah kharakter beberapa anak yang lain agar mereka
menjadi lebih baik. Ehm.. banyak hal seru pokoknya.
merasa kami dekat. Kami saling
menasehati, berbagi, dan mengatasi masalah di kelas secara diam-diam. Pernah
kami membuat skenario untuk mengubah kharakter beberapa anak yang lain agar mereka
menjadi lebih baik. Ehm.. banyak hal seru pokoknya.
Lha, Rabu 9 September ada salah satu curhatan anak perempuan
yang membuat saya haru.
yang membuat saya haru.
“Ibu, kapan ada sekat di anatara anak laki-laki dan
perempuan?”
perempuan?”
“Iya Bu, kami malu kalau dilihatin mereka,”
“Harusnya sekat itu sudah ada sejak kami kelas IV kemarin,”
“Iya Bu,”
“Nanti sekatnya tertutup bu. Buat anak laki-laki yang ada
pintunya. Jadi ibu juga tidak terlihat,”
pintunya. Jadi ibu juga tidak terlihat,”
“Iya, ibu dilihat yang perempuan saja,”
“Iya kapan Bu?”
Satu persatu, seperti paduan suara, mereka mengungkapkan
argumennya. Dan saya membalasnya dengan senyum. Baru setelah semua selesai berbicara saya
menyahut, “sekatnya jadi Mbak, sabar ya,” kata saya. Alhamdulillah, senang
sekali melihat anak perempuan malu jika diperhatikan lawan jenis.
argumennya. Dan saya membalasnya dengan senyum. Baru setelah semua selesai berbicara saya
menyahut, “sekatnya jadi Mbak, sabar ya,” kata saya. Alhamdulillah, senang
sekali melihat anak perempuan malu jika diperhatikan lawan jenis.
Anak-anak di kelas saya bukan berarti tidak mau berteman
dengan lawan jenis. Mereka asyik diajak game, kompetisi, dan lain sebagainya.
Namun ada beberapa waktu yang memang butuh untuk dipisah.
dengan lawan jenis. Mereka asyik diajak game, kompetisi, dan lain sebagainya.
Namun ada beberapa waktu yang memang butuh untuk dipisah.
Sambil menunggu realisasi sekat, sebelumnya saya mengatur
bangku secara terpisah. Membuat huruf O dengan jarak antara laki-laki
perempuan, merancang bangku berkelompok, mendesain huruf U, bahkan saya membuat
batas dengan lakban untuk daerah laki-laki, perempuan, dan kawasan bebas untuk
semua.
bangku secara terpisah. Membuat huruf O dengan jarak antara laki-laki
perempuan, merancang bangku berkelompok, mendesain huruf U, bahkan saya membuat
batas dengan lakban untuk daerah laki-laki, perempuan, dan kawasan bebas untuk
semua.
Memegang kelas V membuat saya belajar bagaimana perkembangan
anak yang mulai menginjak usia baligh dan cara mendekatinya.
anak yang mulai menginjak usia baligh dan cara mendekatinya.
Semoga Bu Fauziah bisa amanah ya Nak… terimakasih sudah
menjadi partner ibu…
menjadi partner ibu…
*semoga pekan ini sekatnya sudah jadi, aamiin.
2 Comments. Leave new
ngobrol bareng anak-anak emang seru banget ya, Mba… 🙂
iya mbak.. seru banget..