Judul: Bulan Nararya
Penulis: Sinta Yudisia
Editor: Mastris Radyamas
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Cetakan: Pertama, Dzulqo’dah 1435/ September 2014
Tebal: 256 halaman
ISBN: 978-602-1614-33-4
“Aku pernah punya suami normal, karir kami masing-masing normal, tapi kehidupan kami nggak normal. Aku punya teman-teman yang normal , tapi hidup mereka juga tak normal. Banyak pernikahan berisi sepasang manusia normal, tapi keseharian mereka abnormal. Saling melukai, tak membangun komunikasi, tak mencoba mencintai.” –hal.55
Membaca buku ini mengingatkan saya pada karya tulis yang berat namun diramu dengan bahasa ringan, bergizi, dan sarat pesan. Mengapa karya tulis? Karena di novel ini ada masalah, fakta, metode, analisis, sintesis, dan jalan keluar. Semuanya diramu dengan sangat menarik oleh Sinta Yudisia, Ketua Umum Forum Lingkar Pena. Tak hanya itu, Bulan Narayya merupakan novel
psikologis yang ditulis dengan perenungan yang matang dan kedalaman ilmu yang tinggi.
psikologis yang ditulis dengan perenungan yang matang dan kedalaman ilmu yang tinggi.
Novel ini berkisah tentang Nararya, seorang psikolog yang menjadi terapis di mental health center. Menerapi para pasien skizophrenia. Pertama saya mengenal penyakit ini yaitu ketika melihat film Beautiful Mind. Seorang penerima nobel yang menderita skizophrenia. Dari film itu, saya semakin penasaran dan bertemulah dengan novel yang menjawab rasa penasaran saya ini.
Ada tiga tokoh pasien sentral di novel ini, mereka adalah pasien skizofrenia. Orang-orang dengan gangguan struktur otak dan beragam tekanan luar biasa dalam hidup yang menyebabkan mereka kehilangan kemampuan berpikir normal dengan salah
satu ciri yang spesifik: halusinasi, ilusi, delusi, waham mengikuti. Tetapi hal yang paling membedakan dengan gangguan kepribadian lain adalah perilaku halusinasi parah yang menyebabkan mereka harus diasingkan, sebab tak mampu membedakan realitas dan khayalan. –hal.18
satu ciri yang spesifik: halusinasi, ilusi, delusi, waham mengikuti. Tetapi hal yang paling membedakan dengan gangguan kepribadian lain adalah perilaku halusinasi parah yang menyebabkan mereka harus diasingkan, sebab tak mampu membedakan realitas dan khayalan. –hal.18
Yudhistira, pria yang tumbuh dengan membawa gangguan kepribadian karena tekanan dari keluarganya (Ibu dan kakak-kakaknya) dan tidak mampu mengeluarkan tekanan-tekanan tersebut. Yudhis memiliki istri bernama Diana, perempuan superior
dan memiliki cinta tulus pada Yudhis. Inilah bagian yang paling membuat hati saya tersentuh. Diana mempertahankan rumah tangganya dengan Yudhis. Dia berusaha menerima kekurangan Yudhis yang kala itu menderita skizophrenia. Bagaimana dia mencoba berinteraksi kembali dengan suaminya yang tak lagi mengenalnya.
dan memiliki cinta tulus pada Yudhis. Inilah bagian yang paling membuat hati saya tersentuh. Diana mempertahankan rumah tangganya dengan Yudhis. Dia berusaha menerima kekurangan Yudhis yang kala itu menderita skizophrenia. Bagaimana dia mencoba berinteraksi kembali dengan suaminya yang tak lagi mengenalnya.
“Aku belajar satu hal dari Diana, Angga. Juga dari Yudhis. Kadang, sikap tulus dapat menyelamatkan kita dari carut-marut dunia yang tidak kita pahami.” (Halaman 205)
“Namun, cinta saja tak cukup untuk menjembatani. Hubungan cinta kasih juga membutuhkan pengalaman dan skill
atau keahlian. Kau bisa saja mengatakan mencintai pasanganmu dengan sangat, tapi apakah caramu sudah cukup ahli untuk membuatnya terkesan, atau justru menjauh dan tertekan?” (Halaman 57)
atau keahlian. Kau bisa saja mengatakan mencintai pasanganmu dengan sangat, tapi apakah caramu sudah cukup ahli untuk membuatnya terkesan, atau justru menjauh dan tertekan?” (Halaman 57)
Lalu Sania, gadis remaja yang telah berpindah-pindah panti asuhan. Besar dalam asuhan nenek yang suka memukul dengan rotan, ayah pemabuk dan ibu pemarah. Gadis yang kesehatan mentalnya terganggu dan di saat bersamaan mengalami fase pubertas. Bagaimana menyikapi pubertas bisa begitu menyulitkan bagi mereka yang mentalnya tak sehat.
Kemudian Pak Bulan, usianya sekitar 70 tahun seorang mantan narapidana yang resividis. Penyuka mawar dan bulan yang selalu menganggap semua bulan adalah purnama.
Uniknya selain dia harus berhadapan dengan manusia-manusia tak normal, ia juga memiliki kehidupan rumah tangga yang berantakan. Pernikahannya dengan Angga selama sepuluh tahun itu kandas. Luka kehilangan itu diperburuk oleh sosok Moza. Perempuan yang menjadi sahabat dan rekan kerja Narayya ini menjalin hubungan dengan mantan suaminya. Narayya digambarkan
sangat manusiawi. Sebagai terapis, ia memiliki sejumlah luka dan tekanan.
sangat manusiawi. Sebagai terapis, ia memiliki sejumlah luka dan tekanan.
Selain ketiga tokoh pasien Narayya, sosok Bu Sausan sebagai pemilik klinik pun cukup berperan. Lalu Farida, sesama terapis yang membagi kisah pahit trauma kehilangan suami.
Selama ini, pengobatan skizofrenia umumnya masih bergantung pada metode farmakologi alias obat-obatan kimiawi. Tingkatan dosis obat bergantung pada seberapa parah skizofrenia yang diderita. Metode ini memiliki kelemahan, yaitu ketergantungan obat.
Inilah yang sedang berusaha dilakukan Nararya. Ia ingin melakukan pendekatan lain selain farmakologi untuk pasien skizofrenia di sana, yang kebanyakan disebabkan oleh trauma dan depresi hebat. Melalui pendekatan transpersonal. Transpersonal adalah suatu aliran baru dalam psikologi (sebelumnya hanya psikoanalis, humanistic, behavioris) yang menyembuhkan penderita gangguan mental dengan pendekatan budaya, pengalaman puncak seperti sufi, shaman, tao, tantra dan zen (halaman 256).
Selain itu di novel ini kita akan disuguhkan bagaimana memberi perlakuan terhadap penyandang skizophrenia. Juga belajar sedikit tentang ilmu psikologi. Namun, semuanya dijelaskan dengan baik melalui narasi maupun adegan, sehingga kita tidak hanya dibuat mengerti, tetapi juga menikmati.
Secara tidak langsung, novel ini mengajak masyarakat menerima keberadaan pasien kelainan jiwa dengan lebih terbuka. Mengingat pengetahun tentang kelainan jiwa masih belum lazim diketahui masyarakat.
“Bila luka luar yang mengering harus demikian diperlakukan berhati-hati agar tak mengalami benturan dan sobek di tempat yang sama, bagaimana luka hati penyandang gangguan mental yang kembali ke tengah keluarganya? Bukan saja dibenturkan, luka hatinya seringkali disentuh berulang, dikoyak, dibuka lagi dan lagi.” –hal.52
Kekurangan novel ini adalah minimnya menunjukkan lokalitas, terutama lokalitas Surabaya sebagai setting tempat utama. Juga adegan-adegan yang bersetting di Palu dan Madura. Selain itu juga ada bahasa yang sedikit bertele-tele. Beberapa kalimat yang harus saya baca lebih dari sekali agar saya paham artinya. Ehm mungkin ini karena saya tidak secerdas penulisnya hehehe.
Secara keseluruhan, saya memberikan empat bintang pada novel ini. Dengan diksi yang memukau dan nyaman dibaca, Mbak Sinta mampu meramu konflik berlapis, memadukan unsur psikologis dan aroma ketegangan, namun tetap menyentuh dan humanis. menuju pemahaman baru, juga pengetahuan baru tentang bagaimana kondisi sesungguhnya para penyandang gangguan mental. Sehingga kita tidak lagi melihat mereka dari apa yang tampak dari luar saja. Tetapi, berusaha memahami bagaimana keadaan
mereka sebenarnya
mereka sebenarnya
* Novel ini memenangkan Juara III Kategori Novel Kompetisi Menulis Tulis Nusantara 2013 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.