Pohon kebaikan, kebiasaan ini terinspirasi dari film Pay it Forward. film yang menceritakan tentang seorang anak yang berusaha mengerjakan tugas “aneh” dari gurunya.
“Think of an idea to change our world and put it into ACTION.”
Trevor, nama murid itu. Ia membuat sebuah proyek yang luar biasa. Pay it forward: ketika kita mendapatkan satu kebaikan dari orang lain, hendaknya kita membalas kebaikan itu ketiga orang lain.
“Saya berterimakasih padanya, dan saat itu ada satu hal yang dia katakan untuk menyatakan terimakasih saya, bayar ke orang lain, tiga kebaikan besar untuk tiga orang. Hanya itu.”
Ide unik ini coba saya terapkan ke anak didik saya. Awal memraktikan, anak merasa sulit dan bingung mau berbuat baik ke siapa. Alhamdulillah setelah rutin mengingatkan, banyak dari murid saya yang mulai menerapkan pohon kebaikan ini.
Ada pengalaman unik saya bersama anak kelas dua.
Hari itu, mereka mendapat banyak kebaikan dari teman-temannya.
Hari itu, mereka mendapat banyak kebaikan dari teman-temannya.
Masing-masing anak ada yang harus membalas ke 15-25 orang.
Tanpa komando, mereka langsung mengeluarkan barang bawaaan. Ada kue, pensil, penghapus, kertas lita, monte, bros, bungan, dan lain-lain. Mereka mencari teman sebagai subyek kebaikan. Tak jarang yang menolak. Karena ketika menerima kebaikan itu, itu berarti mereka harus membalas ke tiga orang berikutnya. Hehehe…
Proses “memberi” ini berlangsung beberapa menit sebelum pelajaran dimulai. Ehm.. biasanya ketika pelajaran saya tidak langsung ke inti. Tapi ice breaking, game, kotak ajaib, tebak kata, baca puisi, atau meneceritakan kisah. Lha kali ini, kami memraktikan pohon kebaikan.
Saat asyik mengamati, aku termangu pada beberapa anak yang berkumpul di bagian belakang. “ah pasti mereka sedang berbagi sesuatu,” pikirku.
Tak lama kemudian, anak-anak itu berjalan ke arahku. Sambil menyodorkan benda-benda unik, “Ini buat ibu,” sambil tersenyum dan meletakan benda-benda itu di atas mejaku.
“Buat ibu?” Aku terkejut. Mereka serempak tersenyum.
Ada monte, buku, bunga dari kertas lipat, surat, dan lain-lain.
Sempat aku menolak, tapi mereka berlari, memaksaku menerima.
“Horeee aku kurang tiga,”
“Aku kurang satu,”
“Aku kurang lima,”
“Bu Fauziah kurang berapa?”
Akupun menghitung berapa kebaikan yang kuterima. What sebelas kebaikan! Ini berarti…
“Ibu kurang 33,” sambil tersenyum.
Anak-anakku cerdik! Hehehe. Tak henti aku tertawa melihat kecerdikan mereka “ngerjai” bu gurunya. Ehm.. nak, nak, semakin ibu menyayangi kalian.
So, hari itu aku berusaha membalas kebaikan ke 33 anak. Ada yang mau menerima ada yang tidak. Kan ketika menerima berarti harus memberikan kebaikan ke 3 yang lain. Hehehe…
Jadinya… kami berusaha menghindari kebaikan orang lain dan berusaha mandiri. Lucu juga ternyata.
Benar-benar, hal sederhana ini berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Ketika mereka kehabisan subyek di sekolah, mereka mencari teman di sekitar rumah, keluarga, atau orang lain untuk subyek kebaikan mereka berikutnya.
Ehm… ada kalimat yang saya suka dari film tersebut, “itu sulit, kamu tidak bisa merencanakannya. Kamu harus memerhatikan orang lain lebih lagi. Seperti mengawasi untuk menjaga mereka. Karena kadang mereka tidak tahu apa
yang mereka butuhkan. Ini seperti kesempatan besar bagimu, untuk memerbaiki yang bukan sepedamu. Kamu dapat memerbaiki orang lain. “
New Hurriyah, 14 April 2012