Ketika kelas dimulai, tentunya kondisi masing-masing siswa beragam. Ada yang sudah merasa siap belajar, sebagian yang lain merasa jenuh, dan sejumlah besar lainnya akan berperan menjadi penonton yang menunggu melihat ‘acting’ guru.
Rasanya mustahil, jika seorang guru di sekolah menganggap bahwa saat kelas akan dimulai, maka setiap murid sudah seharusnya siap menerima pelajaran. Ini adalah tugas guru.
Kondisi murid saat memulai kegiatan dan proses belajar sangat memengaruhi kemauan dan kemampuannya dalam mempelajari sesuatu. Dalam kondisi pikiran yang buruk, mereka akan sulit menyerap informasi ataupun pelajaran, bahkan pelajaran itupun akan berasosiasi dengan hal yang buruk.
Untuk itulah penting bagi seorang guru untuk menciptakan lingkungan yang ramah yang bisa membuat murid enjoy menerima pelajaran. Bisa dipastikan jika murid merasa nyaman dan merasa sekolah bukanlah penjara yang menegraikan bagi mereka. Pelajaran dan informasi akan lebih mudah mereka terima.
Lha bagaimana cara menciptakan kondisi yang seperti ini?
Bila kita sering mengikuti seminar atau pelatihan, biasanya trainer menggunakan musik dan layout ruangan untuk memengaruhi kondisi peserta. Lay out ruangan dibuat bersahabat, tidak kering seperti situasi kelas atau kuliah dengan bangku berjejer seram.
Kita bisa meniru trik trainer di atas, dengan membuat kelas lebih bersahabat sehingga murid merasa betah tinggal lama di dalamnya.
Selain cara di atas, ada juga cara sederhana yang terbukti ampuh untuk mengondisikan siswa. Cara ini bekerja secara berbeda dengan kedua cara di atas, cara ini menggunakan skill dari guru dalam memengaruhi pikiran dan kondisi murid.
Cara ini lebih sederhana dari cara di atas, karena tidak mengandalkan peralatan apa-apa kecuali diri kita sebagai guru, yakni dengan penggunaan metaphor atau dengan kata lain penggunaan kisah atau cerita.
Metaphor boleh saja berupa kisah fiktif seperti fabel atau kisah negeri dongeng lainnya, namun jauh lebih baik jika kisah ini merupakan kehidupan nyata, pengalaman manusia riil.
Kisah riil memiliki kemiripan elemen yang lebih dekat dengan situasi riil, karena pelakunya sama-sama manusia, bukan hewan, atau benda-benda dongeng lainnya yang terkadang harus melibatkan imajinasi yang terlalu rumit agar bisa tercipta asosiasi.
Di tangan guru, metaphor bisa menjadi suatu alat yang sangat ampuh dalam melakukan suatu pembelajaran, bahkan untuk membuat suatu perubahan, termasuk di dalam perubahan sikap.
Metaphor ini bias kisah Thomas Alfa Edison dalam proses menciptakan bola lampu gagal 9999 kali. Dan dia berkata “Aku tidak gagal, aku berhasil membuktikan bahwa 9.999 jenis bahan mentah itu tidak bisa dipakai. Aku akan meneruskan percobaan ini sampai menemukan bahan yang cocok”.
Atau Soichiro Honda, pendiri Honda motor pernah mengalami naik surut ketika mengembangkan perusahaannya, bahkan dia pernah menjadi montir biasa. Dan ketika sukses, ia tetap tinggal di rumah sederhana, mengenakan seragam karyawan biasa di perusahaan, dan tidak mewariskan harta pada anak-anaknya. “Warisan yang paling berharga yang dapat saya berikan adalah membiarkan mereka sanggup berusaha sendiri,” katanya.
Ada lagi Nick Vujicic, pria tampan dan cerdas yang dilahirkan tanpa kedua lengan dan kaki. Namun ia tetap bersemangat dan bahagia menjalani hidupnya. Ia jago main golf, berselancar, dan berenang. Terlebih ia sukses dalam kariernya sebagai motivator atau pembicara internasional. Ia berkeliling ke lebih dari 24 negara di empat benua (termasuk Indonesia), untuk memotivasi lebih dari 2 juta orang-khususnya kaum muda. Berkali-kali, ia diwawancarai oleh stasiun televisi dengan jangkauan internasional. Produknya yang terkenal adalah DVD motivasi “Life’s Greater Purpose”, “No Arms, No Legs, No Worries”, serta film “The Butterfly Circus.”
Melalui metaphor, kita bisa melakukan set-up agar pikiran dan perasaan murid tergiring ke arah tertentu, misal rasa ingin tahu. Kemudian lakukan upaya agar menjadi rasa sangat ingin tahu, lantas tambahkan kekuatannya sehingga menjadi rasa penasaran banget ingin tahu!
Kekuatan cerita mampu menciptakan gambar dalam pikiran pendengarnya. Lebih dahsyat lagi bila guru bisa menggunakan seluruh gerakan badan (body language). Selamat memraktekan guru kreatif.