Dalam hidup, saya membutuhkan penyeimbang. Penyeimbang disela rutinitas kerja, belajar, dan keluarga. Ya, saya menyebutnya penyeimbang, penyeimbang bagi sisi kehidupan yang lain. Penyeimbang kehidupan duniawi –selain ibadah-. Penyeimbang yang saya maksud adalah kegiatan sosial. Hidup bukan hanya bahwa di dalamnya kita harus selalu sibuk dengan rutinitas kerja dalam keseharian seolah kita tidak ingin tahu yg lainnya, ini yang terkadang kita lupa. Sebuah kegiatan dimana kita siap memberi tanpa berharap menerima.
Salah satu penyeimbang yang lebih dari sepuluh tahun menemani saya adalah Forum Lingkar Pena (FLP). Sebuah organisasi nirlaba level dunia yang mencetak penulis-penulis menginspirasi. Komunitas yang dibangun dengan cinta dan dirawat dengan doa dan kebaikan.
Semua bermula tahun 2005 awal saya bertemu FLP di sebuah seminar dengan pemateri Bang Iyus dan Mbak Dian dari Majalah Annida. Sepulang
seminar Allah mempertemukan saya dengan Pak Dadang (Ketua FLP Malang saat itu) dan Mbak Novi Istina. Beberapa hari kemudian, saya dilamar Mbak Novi untuk menjadi sekretaris FLP Universitas Negeri Malang (UM) bersama Mbak Novi sebagai ketua pertama.
seminar Allah mempertemukan saya dengan Pak Dadang (Ketua FLP Malang saat itu) dan Mbak Novi Istina. Beberapa hari kemudian, saya dilamar Mbak Novi untuk menjadi sekretaris FLP Universitas Negeri Malang (UM) bersama Mbak Novi sebagai ketua pertama.
Tahun berganti, saya mendapat amanah ketua di ketua Ranting Universitas Negeri Malang, Kaderisasi FLP Malang, Ketua FLP Malang, dan sekarang di Wakil Ketua FLP Jawa Timur. Secara bertahap, saudara di FLP semakin banyak. Kopdar, turba (turun ke bawah), kegiatan cabang, kegiatan wilayah, upgrading nasional, hingga musyawarah nasional.
Tidak menyangka yang awal mula biasa saja ternyata bisa berlanjut sampai sepuluh tahun lebih. FLP terus menerus menjadi angka penyeimbang yang bermakna dalam kehidupan sosial saya.
Sepertinya selain menemukan penyeimbang di sini, saya juga menemukan passion dan keluarga yang hangat. FLP menjadi keluarga kedua saya saat ini. Di sini saya dapat menyalurkan hobi membaca dan menulis sepuasnya. Tak hanya itu di FLP saya menemukan keseimbangan kehidupan kerja dan produktivitas. Keseimbangan berbagi resah, pengalaman, serta ilmu. Memiliki kekuatan untuk membangun impian. Di sana ada visi. Di sana ada gambaran masa depan. Ada dorongan untuk mewujudkannya menjadi kenyataan.
Kekuatan itu mengarahkan kita pada do’a dan ikhtiar. FLP menemani saya mendaki menuju sebuah profesi yang dinamakan penulis saat profesi ini dipandang iring. Saat sebagian orang menganggap penulis pengangguran. FLP telah mengajarkan banyak kebaikan. Kami diharapkan bukan untuk sekedar menulis. Melainkan, menyuguhkan manfaat bagi pembaca. Mencerahkan, memotivasi, dan bertanggungjawab dengan apa yang kita tulis.
Saya jadi teringat tentang perjalanan buku saya yang berjudul Pendidikan Seks untuk Anak Autis. Sebuah buku yang bermula dari karya tulis menang lomba tingkat universitas sampai menjadi finalis nasional dan terpilih menjadi Juara II Pemuda Pelopor. Saat buku ini selesai saya tulis, saya sangsi, maju mundur. Apakah tulisan ini layak diterbitkan? Amankah? Apalagi tulisan tentang seks masih dianggap tabu di negeri ini.
Saya berpikir ulang, kembali ke niat awal tujuan menulis buku tersebut adalah untuk sharing ilmu. Ditambah dukungan dosen dan teman-teman FLP membuat saya memberanikan diri untuk mengirim ke penerbit. Alhamdulillah sampai saat ini buku tersebut mejadi bahan skripsi beberapa
mahasiswa. Selain itu tak jarang saya mendapat telepon dan email dari ibu-ibu yang membaca dan menerapkan buku saya.
mahasiswa. Selain itu tak jarang saya mendapat telepon dan email dari ibu-ibu yang membaca dan menerapkan buku saya.
Oleh karena itulah, FLP bagi saya bukan sekedar organisasi kepenulisan biasa. Forum ini juga menjadi bagian dari pembentukan karakter penulisnya, salah satunya dengan bertanggung jawab terhadap apa yang kita tulis.
Hal lain yang tak kalah penting, kita bisa menemukan teman-teman yang hangat, ramah, dan satu frekuensi di sini.
Ada satu peristiwa dimana saya benar-benar berada di bawah, terjatuh, sangat lemah, disepelekan, dan dibuang begitu saja. Saat dimana saya hanya bisa pasrah kepada Allah dan berusaha percaya kalau skenario Allah adalah yang terbaik.
Alhamdulillah saya memiliki orang tua dan teman-teman yang mendukung saya untuk bangkit lagi, menemani saya yang sedang terpuruk, membantu saya untuk pulih dan bisa kembali beraktivitas lagi. Sebagian dari mereka adalah FLP.
Teman-teman FLP Malang dan Jawa Timur khususnya, menemani pemulihan saya serta FLP sedunia mengirim doa-doa nan menentramkan.
Entah apa jadinya saya kalau tidak memiliki teman-teman hebat yang selalu menemani, mengirim do,a dan semangat.
Ini mengingatkan saya pada sahabat Ali bin Abi Thalib ketika ditanya arti sahabat, “Ya Ali, kulihat sahabat-sahabatmu begitu setia sehingga mereka banyak sekali, berapakah sahabatmu itu?”
Ali menjawab, “Nanti akan kuhitung setelah aku tertimpa musibah”
Saya menemukan teman-teman yang menemani ketika tertimpa musibah di FLP. Teman yang menerima apa adanya saya, tanpa memandang status, memberi masukan, saling mendukung untuk terus berprestasi, dan banyak hal yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Hati kami saling tertaut, meski raga tidak mempertemukan. Kecintaan inilah yang menyatukan kami.
Pertemuan pertama yang biasa ternyata bisa memberi kesan mendalam hingga saat ini. Apakah ini kebetulan? Bagi saya kebetulan adalah cara sederhana manusia menyimpulkan rumus matematis Tuhan.
Bersama FLP, saya merasa menjalani kenyataan dalam balutan mimpi dan mulai bermimpi dalam kenyataan. Ehm.. mungkin inilah yang membuat saya nyaman di FLP. Saat ini, esok, dan lusa. Seterusnya, insha Allah.
![]() |
FLP Malang: Lomba Foto Aku Gila Buku |
![]() FLP: Aku, Kamu, dan Keping-Keping Waktu |
Upgrading FLP se-Dunia |
Video Profil FLP
Kenangan bersama FLP Malang