“Anak-anak hari ini ibu punya empat permainan buat kalian!” kata saya sebelum memulai ulangan agar lebih menyenangkan.
“Horeee..” jawab murid 1B dengan sumringah.
“Aturan main untuk permainan kali ini adalah kalian harus menyelesaikan tantangan yang ada di empat kertas yang ibu sediakan. Kertas A, B, C, dan D. Kalian bebas mulai mengerjakan dari kertas mana saja. Syaratnya, semua kertas harus selesai dikerjakan,” aku mengatur nafas. Mereka senyum-senyum sumringah.
Nak, tahukah kalau habis ini kalian akan ulangan hehehe.
“Peralatan tempur yang harus dibawa adalah pensil, penghapus, dan krayon,” ujarku.
Mereka segera mengambil peralatan tempur, “sudah Buuuu,”
“Bagus! Oiya, permainan ini kita lakukan di masjid bersama dengan kelas 1A, …”
“Horeeeee,” teriakan mereka membuat kalimatku terputus.
“Satu lagi, nanti yang membawa empat tantangan itu Bu Fauziah, Bu Ika, Bu Rulli, dan Bu Fika. Kalian bebas memulai dari mana saja. Mengerti?” tanyaku sebelum memulai permainan (baca ulangan).
“Iyaaaa…”
“Sip! Ada berapa permainan hari ini?” aku mengulang pertanyaan.
“Empaaaaattt,”
“Peralatan yang dibawa apa saja?”
“Pensil, penghapus, dan krayon,”
“Baguuus! Ok yang rapi bisa ke masjid duluan,”
Yeeaaah… Alhamdulillah anak-anak hari ini ulangan dengan ceria. Coba kalau saya bilangnya, “Anak-anak hari ini ulangan ya..” ehm.. bias dipastikan bagaimana responnya .
Jadi bahasa ulangan saya ganti dengan permainan, tantangan yang harus dipecahkan, atau game dengan beberapa level. Istilah ini sangat berpengaruh untuk anak-anak, apalagi untuk anak kelas satu.
Kurikulum 2014 ini cukup membuat kami memutar otak. Secara materi dan tujuan oke, hanya saja untuk penilaian yang sepertinya perlu ada perbaikan.
Misalnya untuk kelas 1, satu semester ada 4 tema. Satu tema berisi empat subtema dan diselesaikan kurang lebih satu bulan. Tiap satu sub tema ada evaluasi. Dengan kata lain hamper tiap minggu ada evaluasi. Setelah evaluasi selesai ada ulangan harian.
Untuk mengatasi kejenuhan, evaluasi tak harus berupa soal tertulis, bisa praktik. Bagaimana baiknya menurut kondisi lapangan.
Masih penilaian, dalam pembelajaran sehari-hari kita menggunakan tematik, namun untuk penilaian di rapot masih menggunakan mata pelajaran. Lha ini tugas guru untuk memilah-milah nilai tematik itu menjadi nilai mata pelajaran.
Ehm… semangat buat guru Indonesia!!!